Aku tidak pernah menyangka, tidak adanya Mbak Riesta di kantor ternyata cukup mempengaruhi diriku. Dulu kupikir, kalau Nindon atau Ilen yang resign, baru akan terasa perbedaan yang signifikan. Terus terang saja, mereka berdua kan tergolong ribut ya, sehingga ketiadaan mereka pasti sangat terasa, berbeda dengan Mbak Riesta yang kalem dan tenang. Anak-anak Sales Recruitment selalu bercanda, ada dan tidak ada Mbak Riesta sama saja, saking jarangnya dia berkomentar.Namun ternyata aku salah. Seminggu ditinggal Mbak Riesta, suasana hatiku seperti tidak kunjung membaik. Aku seperti baru tersadar, kehilangan rekan kerja yang selama ini mampu membuatku semangat menjalani hari-hari. Mbak Riesta memang jarang berkomentar, tapi sekali membuka mulut, mampu membuat siapapun yang mendengar seperti mendapat suntikan motivasi.
Terus terang saja, sekarang aku butuh suntikan motivasi yang luar biasa. Semangat kerjaku yang sudah turun semenjak kekesalanku pada Ibra dan Ilen kemarin, semakin bertambah dengan kepergian Mbak Riesta.
Omong-omong soal Ibra, pria satu itu tetap saja menghantuiku dari terakhir kali aku berkomunikasi dengannya langsung. Aku menghela napas ketika ponselku kembali bergetar, tahu siapa yang menghubungi.
Aku melempar ponsel masuk ke dalam tas kerja, tidak berminat membalas pesan Ibra lebih lanjut. Heran, kenapa semua orang sepertinya tahu kalau aku sengaja menghindarinya?
"Pesan dari Ibra ya?" tiba-tiba Nindon sudah ada di sebelahku, dari gelagatnya terlihat dia sudah memperhatikanku sejak tadi.
Aku hanya mengedikkan badan dan berusaha bersikap tidak peduli.
"Kelihatan banget tahu nggak? Muka lu tuh nggak bisa bohong," lanjut Nindon setengah menahan tawa. "Lagi kenapa sih lu? Mellow banget beberapa hari ini. Masih sedih soal Mbak Riesta?"
Aku menarik napas dalam-dalam, ragu menjawab pertanyaan Nindon, konsentrasi terpusat pada tumpukan amplop cokelat di hadapanku yang belum terbuka. Melihat tumpukannya saja, aku tahu pasti hari ini lembur akan lebih lama dari biasanya.
"Hei, Let," Nindon mengibaskan tangan kanannya di depan mukaku. "Menakutkan deh kalau lu terlalu diam begini."
"Pernah berpikir nggak sih Nin? Kalau kita nggak kerja di Gemintang, kehidupan kita seperti apa?" tanyaku kemudian.
Nindon melihatku seakan-akan aku melakukan satu tindakan yang absurd.
"Ihhh, maksud gue kebayang nggak kalau kita kerja di tempat lain?" tambahku gemas melihat Nindon tidak bereaksi. "Kita nggak perlu kejar-kejaran sama target yang gila seperti ini, sampai-sampai bisa terbawa mimpi. Akhir pekan dan hari libur benar-benar bisa istirahat, atau melakukan kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan kandidat dan laporan begini. Kepala juga nggak pening, terus-terusan memikirkan bagaimana cara mendapat tambahan kandidat."
"Lu capek ya?" tanya Nindon pendek.
"Banget," ujarku akhirnya, menyerah. Nindon selalu mampu melihat jauh ke dalam diriku. "Melihat Mbak Riesta, membuat gue berpikir gila ya kerja sampai kayak begini, untuk apa ya? Dapatnya makan hati dan lelah badan saja. Gaji gede pun sia-sia, kalau kita tidak bisa menikmatinya."
"Lu mau resign?" lanjut Nindon. "Kemarin kan lu bilang sudah masukin lamaran kerja kan, sudah ada panggilan memangnya?"
"Belum sampai situ sih, Nin. Gue masih suka kerja di sini, cuma berpikir bagaimana ya caranya biar bisa lebih menikmati pekerjaan? Kalau benar Ilen dendam sama gue, sampai kapan pun gue kerja di sini macam disiksa saja."
Nindon diam, mungkin mencerna omonganku. Beberapa menit kemudian, dia melihatku dengan cengiran khasnya. Aku bergidik, cengiran Nindon hanya berarti satu hal.
"Kenapa nggak lu cerita sama Bu Rani saja langsung? Kasih tahu si Ibu semua hal yang dilakukan Ilen. Lu kan punya bukti valid."
Aku tertegun.
Astaga, mengadu langsung pada Bu Rani? Sanggupkah aku?
***
Terima kasih untuk 5K readers yaaaa, serta vote yang hampir 1K... bikin semangat updateeee.... 😻😻😻
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...