"Mbak Leta nanti di ruangan Ruby ya, Mas Lucky di Emerald. Mbak Nindon dan Mbak Mutia di lantai dua," Mabeth menyerahkan setumpuk berkas kepada kami berempat setelah selesai membagi-bagi ruang meeting.
"Aku di mana, Beth?" tanya Mbak Riesta sambil mengecek berkas lamaran yang sudah diterimanya terlebih dahulu.
"Mbak Riesta bareng aku ya di Topaz depan, aku sekalian cek kandidat-kandidat yang baru datang."
"Ada berapa kandidat yang sudah datang totalnya, Beth?" tanyaku penasaran. Aku belum sempat melihat ke area ruang tunggu karena, seperti recruiter lain, aku menyiapkan peralatan perang kami sebagai recruiter. Memang hanya memastikan cukup lembar formulir hasil wawancara dan pulpen, tapi kalau sampai kurang formulir dan pulpen macet di tengah-tengah sesi wawancara, lumayan memakan waktu untuk cari penggantinya.
"Hmmm," Mabeth tampak mengingat-ingat. "Sekitar 80an orang ada deh," jawabnya ragu.
"Delapan puluh?!" teriak kami berlima bersamaan.
"Dan ini masih jam setengah sembilan," lanjut Nindon.
"Masih bisa bertambah," gumam Mutia.
"Astaga, berarti per orang sekitar 16 nih yang harus kita wawancara?" seruku horor. Secepat-cepatnya aku melakukan wawancara, seperti kuceritakan saat di Surabaya, itu sekitar 15 menit. Tapi kalau ada 16 kandidat yang pagi-pagi ini sudah datang, dengan kemungkinan bertambah seiring waktu, aku harus mempercepat proses wawancara. Satu tantangan besar untukku yang ingin mengetahui banyak hal mengenai satu kandidat. 15 menit saja sudah sangat kurang, apalagi di bawah itu.
"Kurangi sifat sempurna lu itu, anggap saja kita screening cepat, nanti kan masih ada wawancara user," ujar Nindon. "Tenang saja, user metro ketat, beda sama regional," lanjut Nindon cepat melihat gelagatku yang ingin membantah.
"Kita mulai sekarang saja yuk, biar cepat selesai," potong Lucky. Selalu paling realistis di antara kami.
"Ngomong-ngomong, Ilen mana, Beth?" tanya Mutia curiga.
"Masih nanya Mbak?" jawab Mabeth sambil berlalu menuju ke arah area tunggu.
"Mana mungkin sudah datang, dia datang jam sembilan tepat saja sudah keajaiban," cibir Nindon.
Ilen memang tidak pernah datang pagi, padahal tempat tinggalnya paling dekat dengan kantor kami di area Sudirman ini. Padahal Mutia yang tinggal di Bogor, Nindon di Ciledug serta Mbak Riesta di Serpong saja selalu datang sebelum pukul delapan. Tapi tentu saja hanya Ilen yang selalu bisa membuat alasan daerah Rawamangun penuh masalah, dari pembangunan jalan, banjir sampai penutupan jalan semua sudah pernah dijadikan alasan keterlambatan.
Tiga jam kemudian, ketika tiba waktu istirahat siang, Mabeth mendatangi aku dan Lucky tergesa-gesa. Kebetulan ruangan wawancara aku dan Lucky sama-sama di lantai satu dan bersebelahan. Setelah menyelesaikan maraton wawancara hampir 30 kandidat, aku dan Lucky sengaja keluar dari ruangan untuk sekedar berbagi cerita sambil meregangkan otot. Baru saja kami membicarakan rencana makan siang di mana ketika Mabeth memberikan kabar buruk.
"Mbak Leta istirahat 20 menit saja ya, Mas Lucky nanti setelah Mbak Leta. Soalnya di area tunggu masih banyak banget, bisa-bisa selepas jam empat belum selesai."
Aku melongo.
"Itu makanan saja belum tertelan sudah harus selesai, Beth," sahut Lucky mengalahkanku untuk protes.
"Duh maaf, Mas. Tapi Mbak Ilen tadi mintanya gitu," jawab Mabeth pelan. "Aku pun baru bisa istirahat jam satu nanti, setelah kalian semua selesai gantian istirahat."
Aku menghela nafas dan bertukar pandang dengan Lucky, "sebenarnya kerjaan kita nggak beda jauh sama customer service ya."
"Bedanya mereka jelas kelihatan di mata pelanggan, kalau kita kelihatan keren sementara saja di depan kandidat," jawab Nindon tiba-tiba mengagetkanku. "Kalau nanti sudah keterima kerja, hitung saja berapa yang masih ingat sama kita."
"Dan tentunya tidak ada penghargaan untuk best recruiter of the year seperti teman-teman customer service ya buat kita," lanjutku terpancing provokasi Nindon.
"Tepat sekali. Sekarang mending kita memanfaatkan 20 menit kita sebaik mungkin sebelum Ilen inspeksi," ujar Nindon sambil menarik tanganku menuju lift.
Istirahat makan siangku kali ini akan sangat seru.
***
Masih semangat mengikuti lanjutan kisah Leta sebagai recruiter? Semoga nggak ikutan sebal sama Ilen ya. Berat, biar Leta and the ganks saja yang sebal haha.
Ada yang mau kalian ketahui lebih jelas lagi nggak sih akan profesi ini? Cuss, komen saja di bawah nanti sebisa mungkin aku selipkan di cerita ya ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
Literatura FemininaSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...