59.Meet Resolution

4.3K 450 52
                                    




Ibra memasukkan satu sendok penuh makanan ke mulutnya, kemudian melanjutkan kegiatan yang dilakukan sebelumnya, mengecek atau mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sesekali ia nampak menuliskan apa yang dilihatnya dari ponsel, ke agenda dengan cover berbahan kulit warna hitam yang selalu dibawanya. Mungkin sudah sekitar sepuluh menit Ibra melakukan kegiatan tersebut berulang, dengan variasi menyesap minuman atau menerima panggilan melalui ponsel.

Seakan-akan dia tidak terpengaruh dengan keberadaanku di depannya.

"Mas Ibra sibuk banget, sih? Saya kan ajak makan siang karena ada yang mau dibicarakan," ujarku berusaha memecahkan keheningan di antara kami.

Ibra terperangah, ia langsung mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel dan memperhatikanku. "Kamu diam saja dari tadi," jawabnya terlihat bersungguh-sungguh.

Aku menarik-narik ujung rambutku mendengar balasan Ibra. "Mas Ibra kan bisa memulai lebih dahulu," sanggahku tak mau kalah. Karena aku bingung harus mulai dari mana, tambahku dalam hati.

"Mulai dari?" tanya Ibra sembari menautkan kedua alisnya.

"Misalnya menyanggah tuduhan saya kemarin, atau membela diri, atau...," aku berhenti sebentar untuk mencoba membentuk susunan kalimat yang lebih jelas. "Saya bertemu Mbak Ilen kemarin, dan kami bercakap-cakap cukup lama, jadi ya, saya...," lanjutku akhirnya, menyerah menemukan padanan kata yang sesuai.

Ibra tersenyum, tampak mulai menyadari ke mana arah pembicaraanku.

"Idih, Mas Ibra jangan senyum saja dong. Saya jadi nggak enak. Maaf ya, Mas," sergahku cepat. "Maaf, Mas. Seharusnya saya nggak membuat kesimpulan sendiri dan percaya begitu saja dengan apa yang saya dengar." Aku mengulang kalimatku agar terdengar lebih enak.

"Lucu ya," komentar Ibra pendek.

"Kok lucu?" kali ini giliran kedua alisku yang pasti tampak bertaut.

"Kita belum pacaran saja sudah ada salah paham seperti ini."

Aku tersedak. "Belum pacaran? Memangnya kita mau pacaran?" semburku.

"Memang kamu nggak mau pacaran sama saya?" tanya Ibra seolah-olah pertanyaannya adalah masalah sederhana yang dialami sehari-hari, bukan tentang keputusan dua orang untuk menjalani sebuah komitmen.

"Kenapa saya harus pacaran dengan Mas Ibra?" jawabku balik bertanya, mencoba memahami isi pikiran Ibra yang kali ini lebih ajaib dari sebelum-sebelumnya.

"Karena saya suka kamu," balasnya singkat.

"Kok bisa?"

"Kok bisa?" ulang Ibra mendengar pertanyaanku.

"Kok bisa suka?" tegasku, bertambah pusing dengan semua kelakuan Ibra saat ini. Agenda siang ini seharusnya hanya seputar permintaan maafku pada Ibra, tapi sekarang sepertinya tujuan utama telah tergantikan.

"Awalnya saya penasaran dengan kamu." Ibra memulai penjelasannya setelah menyesap jus jeruknya. "Ilen sering cerita soal salah satu anggota timnya, yang menurut dia, sangat bisa diandalkan. Dia itu dari dahulu jarang sekali memuji orang, jadi tentu saya mau tahu lebih banyak siapa yang dia maksud ini. Sebelumnya saya mencari tahu soal kamu sambil lalu saja, kemudian lebih intens ketika kita banyak kerja bareng."

"Lalu?" selidikku lagi setelah melihat Ibra berhenti berbicara.

"Apa lagi yang kamu ingin tahu? Kapan tepatnya saya suka kamu?" goda Ibra.

"Jadi karena Mas Ibra suka sama saya, kita harus pacaran? Dengan anggapan saya juga suka sama Mas Ibra?" tanyaku, lebih ke diriku sendiri sebenarnya, tapi entah mengapa terucap keluar dari bibirku.

"Memangnya kamu benci saya?" Ibra bertanya dengan mengaitkan kedua tangan di depan dadanya, kemudian menyenderkan diri pada kursi yang ditempatinya.

"Nggak," balasku cepat. "Kenapa bertanya begitu?"

"Berarti kamu suka sama saya kalau begitu," simpul Ibra, dengan nada bicara seolah baru saja memecahkan misteri terbesar abad ini.

"Tapi bukan berarti kita harus pacaran kan?" jawabku tanpa berpikir. "Eh, ini maksudnya bukan saya benar suka suka yang seperti itu, aduh bagaimana menjelaskannya ya?" tambahku cepat, kembali aku menarik-narik ujung rambut.

"Selama kamu tidak membenci saya, berarti saya masih punya harapan. Saya boleh tunggu sampai kamu siap?"

Yah, masak dilarang ya... Itu kan hak asasi setiap orang mau melakukan apa ya, ujarku dalam hati. Apanya yang kaku sama wanita ya, bicaranya saja smooth begini deh, ingatanku langsung terbang pada ucapan Ilen saat itu.

 Apanya yang kaku sama wanita ya, bicaranya saja smooth begini deh, ingatanku langsung terbang pada ucapan Ilen saat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
Terima kasih untuk 10k pembaca 🙏🙇‍♀️

Besok cerita ini sudah berakhir 🙈🙈🙈🙈🙈

Astagaaa... tidak terasa sekali, akhirnya mendekati garis finish.

Terima kasih banyak untuk semua teman-teman yang menyempatkan baca kisah ini, yang memberikan vote, terutama yang sampai menyempatkan menuliskan komentar. Kalian membuat aku sungguh-sungguh semangat menyelesaikan cerita ini. Semoga cerita ini akan menjadi cerita (panjang) pertama saya yang selesai 😂😂😂 (anaknya mood2an banget soalnya, memulai tanpa mengakhiri atau malah malas memulai sama sekali 😝)

*brb nulis ending buat besok dulu ya... 👋 Mau nanya Leta dia ingin ending kayak apa tadinya, tapi kayaknya dia sibuk dengan pikiran(denial)nya sendiri deh... 🤪

 🤪

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Recruiter Lyfe - (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang