Aku membenamkan kepalaku di atas meja, menahan suara-suara di dalam diri untuk memberontak. Kedua mataku terasa perih, dan kurasakan pipiku menghangat. Kembali aku mengacak-acak rambut yang telah kulakukan setidaknya dalam beberapa menit terakhir."Jadi ternyata yang terjadi adalah gue pindah ke area lu dan si karyawan baru ini untuk menggantikan gue?"
Aku diam saja mendengar Lucky bermonolog. Sungguh aku seperti kehilangan kemampuan berbicara setelah keluar dari ruang meeting itu. Terbayang di kepalaku berbagai tambahan pekerjaan yang harus kulakukan. Kalau kemarin semuanya sudah rapi terkait handover apa saja yang akan kuberikan ke anak baru, sekarang tentu tidak akan semudah itu. Prosesnya jadi melibatkan lebih banyak orang. Aku mengalihkan pekerjaanku pada Lucky, dan Lucky mengalihkan pekerjaannya pada si anak baru.
Luar biasa.
"Menurut lu, dari awal memang seperti ini rencananya atau ini plan B?"
Aku cepat-cepat mengangkat kepalaku dan mendelik ke arah Lucky. Dengan suara bergetar aku hanya mampu berbicara singkat, "Maksud lu?"
"Maksud gue," terlihat sekali Lucky berusaha mengatur nada suaranya, mungkin agar aku tidak menyalahartikan maksud pertanyaannya. "Memang dari awal direncanakan seperti ini, gue menggantikan area lu, atau baru-baru saja ditentukan kalau si anak baru lebih baik pegang area gue. Kita nggak tahu kan seberapa banyak pengalaman si karyawan baru ini. Regional gue kan jauh lebih mudah dari area elu."
"Kok bisa sih Ky, lu masih saja ada pikiran positif begitu ke Ilen?" tanyaku tak percaya. Dalam pikiranku, sudah jelas Ilen sengaja memberitahu perpindahan ini dalam waktu mepet. Tujuannya tentu saja supaya aku semakin keteteran dengan semua pekerjaanku ini. Entah apa motifnya.
"Let, Ilen kan supervisor kita, untuk apa dia bikin timnya sendiri berantakan?"
"Entah ya, Ky. Yang jelas gue sih nggak pernah mendapat dukungan dia dari hari pertama gue kerja di sini. Kalau ada apa-apa, elu dan Nindon adalah tumpuan utama gue. Mutia juga, dulu waktu dia masih ada. Selain itu? Mbak Riesta, Mabeth dan bahkan Timmy saja lebih banyak membantuku daripada dia," ujarku kesal.
"Sabar, Let. Pasti bisa dilalui kok," kali ini suara Mbak Riesta dari depan mejaku. Sepertinya Mbak Riesta sudah mendengar percakapan kami dari tadi.
Saat-saat seperti ini aku butuh Nindon. Hanya Nindon yang paham betul bagaimana perasaanku saat ini. Aku tidak butuh banyak hal positif di sekitarku. Satu bulan ini sudah terlalu luar biasa bagiku.
"Gue ke luar dulu ya, butuh udara segar nih," ujarku akhirnya. "Masalah handover, kita bahas habis makan siang aja ya, Ky."
"Tenang saja, besok masih bisa. Yang penting elu relax dulu," jawab Lucky yang langsung disambut anggukan cepat Mbak Riesta. Dua manusia ini memang saling melengkapi, mungkin memang tujuan mereka ada di Sales Recruitment untuk melengkapi aku dan Nindon juga.
Baru saja aku memijit tombol lift, ponsel di saku blazerku bergetar. Mengacuhkannya, aku menekan tombol silent secara otomatis. Masih ada waktu untuk mengurus pekerjaan nanti, pikirku. Sekarang aku butuh ketenangan.
Namun sepanjang perjalananku dari lantai delapan sampai tiba di area kantin karyawan sekarang, ponselku tidak berhenti bergetar. Sebelumnya hanya panggilan masuk, sekarang kurasakan notifikasi untuk pesan masuk juga bertambah.
Akhirnya aku menarik ponsel keluar dari saku blazer dan mengintip siapa saja yang telah meninggalkan pesan dan panggilan begitu banyak.
Hanya ada satu nama yang tertinggal: Ibra.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...