Kantor baru berarti banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Walaupun sebenarnya pekerjaanku sama saja seperti biasanya, namun pengaruh lokasi lumayan menentukan ternyata. Ditambah lagi tidak ada rekan kerja yang biasanya menemaniku, bagaikan melakukan business trip dalam waktu lama. Ternyata kangen juga aku dengan suasana kantor yang ramai dan ruwet. Ruangan Sales Recruitment yang kecil diisi sampai tujuh orang, sementara di cabang Bekasi yang berupa ruko dua lantai ini hanya berisikan empat orang. Hanya ada aku, Tya, Ibra dan Pak Danu sang kepala cabang. Lebih seringnya hanya ada aku dan Tya, karena Ibra dan Pak Danu lebih sering keluar kantor.
Satu hal lain yang paling menyebalkan untukku sebenarnya jarak kerja. Sebelumnya, hanya membutuhkan waktu satu jam paling lama untuk berangkat ke kantor, namun sejak pindah ke Bekasi, aku harus rela menghabiskan waktu dua jam di jalan.
"Mbak Leta masih lama?" tanya Tya seperti berusaha menahan kantuk, berkali-kali ia tampak menguap.
Aku berpaling dari laptop dan melepas kacamata sejenak, mengusap kedua mataku dengan punggung tangan. "Sebenarnya tidak ada yang terlalu penting lagi sih, tapi Ibra minta gue tunggu dia dulu, ada yang mau didiskusikan."
"Pak Danu sama Mas Ibra masih mau balik ke kantor? Sudah jam delapan malam ini," ujar Tya sambil merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Saat ini tinggal kami berdua di kantor, plus satpam yang standby 24 jam di lantai satu.
"Harusnya sih, baru saja kirim pesan," ujarku melirik ponsel, memastikan saat terakhir Ibra mengirim pesan padaku sepuluh menit yang lalu.
"Pak Danu sih nggak akan balik ke kantor deh, istrinya kan galak," ujar Tya sambil ketawa. "Kalau Mas Ibra, baru..."
"Saya kenapa, Tya?" Tya terlonjak dari posisinya mendengar suara Ibra. Aku mencoba menahan tawa melihat ekspresi Tya.
"Eh, Mas Ibra sudah datang. Alhamdulillah, saya pulang ya. Ngantuk," ujar Tya cepat sembari menyambar tasnya. "Sampai besok, Mbak Leta," teriak Tya setengah berlari keluar menuruni tangga.
Akhirnya aku tidak sanggup lagi untuk tidak tertawa, selepas Tya benar-benar menghilang dari hadapan aku dan Ibra.
"Ada yang lucu?" tanya Ibra bingung seraya menarik salah satu kursi di depan mejaku.
"Tya," jawabku di sela-sela tawa. "Dia takut sekali sama Mas Ibra."
"Kenapa memangnya saya?"
"Mas Ibra nggak sadar ya? Mas Ibra tuh galak banget, Tya sampai nggak berani satu ruangan sama Mas Ibra."
"Masak? Kamu nggak takut sama saya," tutur Ibra sambil memandangku lekat.
"Kata siapa? Ini saya belum pulang karena disuruh tunggu, padahal sudah capai banget," ujarku cemberut.
Ibra masih menatapku lekat, memperhatikanku sampai membuatku jengah. "Jadi mau diskusi apa? Sudah malam ini," tanyaku akhirnya karena tidak melihat tanda-tanda Ibra berhenti menatapku.
"Yuk, pulang," ucap Ibra pendek.
"Pulang? Katanya ada yang masih mau didiskusikan?" tanyaku bingung, namun tetap tanganku bergerak mematikan laptop.
"Saya kan tidak bilang harus diskusi di kantor, sudah malam. Nggak baik tinggal kita berdua saja di kantor begini."
Mukaku seketika memerah. Kenapa sepertinya aku yang meminta dia tinggal di kantor, kan dia sendiri yang menyuruhku menunggu, rutukku dalam hati.
Seperti mampu membaca raut wajahku, Ibra tersenyum sebelum berucap pelan, "Saya antar pulang ya. Kalau nggak saya tahan sampai malam begini, kamu pasti menolak saya antar. Capai kan kalau kamu harus gonta-ganti angkutan umum, sampai rumah juga sama-sama malam."
Aku termangu, mencoba menerka-nerka apakah ada udang di balik batu dari tawaran Ibra kali ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...