47.Meet Tense

3.3K 356 23
                                    




"Ada berapa kandidat yang sudah datang, Ya?" tanyaku di sela-sela suapan makan siang dan berkas-berkas lamaran di atas meja. Keahlian melakukan dua hal sekaligus-makan siang di tempat sekaligus mengecek dokumen kandidat-sudah kukuasai selama penugasan di Bekasi.

"Setidaknya sepuluh orang sudah ada, Mbak," jawab Tya di sela-sela menerima panggilan yang masuk di telepon mejanya.

Aku mengangguk, kemudian memasukkan suapan terakhir nasi bento. Setelah yakin sudah tertelan dengan baik, aku bangkit berdiri untuk mengambil hasil cetak salah satu dokumen kandidat di printer yang terletak dekat dengan meja Tya.

"Minum dulu, nanti tersedak," Ibra muncul dari sisi kananku sesaat sebelum aku sampai di meja printer. Ia menyodorkan gelas minum yang pasti baru saja dia ambil dari atas meja kerjaku.

"Terima kasih," jawabku pelan. Ruang kerja kami berempat memang sama-sama di lantai dua. Selain Pak Danu yang memiliki ruang kerja sendiri; aku, Tya dan Ibra berbagi ruangan untuk ditempati bersama.

"Saya nggak mau partner saya bermasalah dengan tenggorokannya, sebelum sesi wawancara dimulai," ujar Ibra sambil lalu menuju mejanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Saya nggak mau partner saya bermasalah dengan tenggorokannya, sebelum sesi wawancara dimulai," ujar Ibra sambil lalu menuju mejanya.

"Eh iya, Mas Ibra," seruku tiba-tiba teringat sesuatu. "Soal wawancara, siang ini seharusnya kan tandem ya, kalau Mas Ibra jalan sendiri dulu boleh kah?"

Ibra mengerutkan kening, nampak mencoba memahami arah pertanyaanku.

"Saya ada presentasi yang harus diselesaikan hari ini, jadi kalau boleh Mas Ibra wawancara sendiri dulu?" lanjutku ragu-ragu.

"Kenapa kamu bisa ada kerjaan dadakan? Wawancara ini kan sudah dijadwalkan dari kemarin, memangnya tidak bisa mengatur waktu?" tanya Ibra balik seperti menghakimiku. Melalui sudut mataku, Tya terlihat mundur dari meja kerjanya dan berjalan perlahan menuju pintu keluar.

"Bukan begitu," aku menarik-narik ujung rambutku, bingung harus menjelaskan dari mana. Presentasi ini sebenarnya rutinitas yang tetap diminta oleh Ilen untuk terus kulakukan, walau aku sedang bertugas di Bekasi. Aku selalu mengerjakannya tentu jauh sebelum tenggat yang diberikan Ilen, tapi entah mengapa kali ini Ilen tidak puas dengan hasil kerjaku dan meminta revisi beberapa halaman.

"So?" desak Ibra menanti jawabanku

"Ada tugas dadakan dari Mbak Ilen, revisi yang harus selesai sore ini," ujarku jujur akhirnya. Terserah kalau Ibra masih berpikir aku tidak mampu mengatur waktu.

"Dari Ilen?" tanya Ibra memastikan.

Aku mengangguk, kemudian cepat-cepat menambahkan, "Saya selalu mengirimkannya sebelum deadline, tapi hari ini pertama kalinya Mbak Ilen kirim balik minta revisi." Entah mengapa, aku merasa perlu membela diri sendiri.

"Oh, baiklah kalau begitu," jawab Ibra seakan itu bukan masalah besar.

"Nggak masalah Mas Ibra wawancara sendiri?" tanyaku tak percaya. Malik Ibrahim Lubis tidak pernah secepat ini menyerah dalam perdebatan.

"Oke," jawabnya pendek.

Aku masih menatapnya ragu.

"Kamu fokus dengan presentasimu saja dulu. Ilen tidak mungkin memberikan tugas tanpa tujuan yang jelas," ujar Ibra kalem tanpa mendongak dari tumpukan berkas di mejanya.

Ibra mendukung apa yang dilakukan Ilen, ujarku dalam hati. Aku menatapnya tak percaya, kali ini karena sebab yang berbeda dengan sebelumnya. Sekarang, yang pasti aku lebih ingin Ibra mendebatku seperti biasa, bukan malah membela Ilen seperti ini.

 Sekarang, yang pasti aku lebih ingin Ibra mendebatku seperti biasa, bukan malah membela Ilen seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Recruiter Lyfe - (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang