"Duduk, Leta," ujar Bu Rani ketika aku telah berada di dalam ruangannya. Jujur saja, ini kali pertama aku masuk ke ruangan Bu Rani. Pertemuan-pertemuan sebelumnya selalu terjadi di ruang meeting, sehingga wajar aku sedikit terbeban kali ini. Ruangan Bu Rani sungguh luas dengan dinding kaca di samping meja kerja Bu Rani, yang menampilkan pusat kota Jakarta dengan seluruh hiruk-pikuknya. Sementara di hadapannya, juga dinding kaca sehingga semua orang dapat melihat ke dalam ruangan. Sistem ruang kerja di kantor Asuransi Gemintang memang mengadopsi konsep open space, sehingga semua karyawan dapat melihat satu sama lain dengan jelas tanpa terhalang bermacam hal.Karena Bu Rani dan Ilen saling duduk berhadapan di kursi single yang hanya ada dua buah, aku terpaksa melangkahkan kaki ke arah sofa yang telah terisi Ibra di salah satu sisinya. Dengan kikuk aku melemparkan diri ke sofa, kemudian meletakkan laptop serta agenda ke atas meja di depanku. Melalui sudut mataku, Ibra terlihat sedikit menggeser duduknya untuk memberiku ruang yang lebih luas. Tapi tetap saja bahu kami sesekali bersentuhan, karena banyaknya bantal sofa yang ada, walau salah satunya sudah berakhir dalam dekapanku.
"Leta tahu kenapa saya panggil ke sini?" tanya Bu Rani.
Aku menggeleng. Ilen cepat menatap ke arahku, membuatku sadar, sepertinya bukan jawaban itu yang diminta Bu Rani. "Sepertinya terkait dengan pekerjaan saya," ujarku cepat-cepat.
Dalam hati, aku masih bertanya-tanya. Kalau ini memang berhubungan dengan pekerjaanku, kenapa ada Ibra di sini. Apakah dia berperan dalam pemanggilanku hari ini? Apa dia mengeluh akan pekerjaanku yang sungguh lama dalam memberikannya kandidat yang bagus? Tapi dia sendiri yang membuat semua kualifikasi yang berlebihan itu.
"Kenapa dengan pekerjaanmu memangnya?" tanya Bu Rani mengerutkan keningnya, kepalanya terlihat sedikit miring ke arah kanan menunggu jawabanku.
"Eh," ujarku ragu sebelum menjawab. Aku merasakan semua perhatian tertuju ke padaku, terutama dari sebelah kanan. Keringat dingin mulai menjalari keningku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk berbicara jujur. "Karena hasil kerja saya masih jauh dari harapan tiga bulan terakhir ini, dan saya pasti mengecewakan banyak pihak yang telah memercayai saya di area Metro. Itu termasuk Ibu dan Mbak Ilen, eh, serta Mas Ibra juga," lanjutku tidak enak tidak mengikutsertakan nama Ibra mengingat pria tersebut hadir di sini. Terlepas dari alasan Ibra hadir di sini, seperti juga Ilen, yang sudah pasti mengadu akan kinerjaku.
"Kamu pikir kamu dipanggil karena hasil kerjamu tidak baik?" ulang Bu Rani masih dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya, kali ini kerutan di keningnya malah semakin dalam.
"Memangnya tidak, Bu?" tanyaku bingung. Aku menatap ke arah Ilen untuk mencari sedikit jawaban, tapi Ilen sepertinya sama bingungnya denganku.
Bu Rani tersenyum, kali ini kerutan di keningnya menghilang dan ia beranjak ke arah meja kerjanya untuk mengambil sesuatu. Ternyata ia mengambil remote control dan menyalakan televisi yang terletak di atas kepalaku. Spontan aku dan Ibra mendongak berbarengan dengan arah yang sama, kedua wajah kami berhadapan sangat dekat aku bahkan bisa mencium aroma aftershave-nya. Aku cepat-cepat memfokuskan pandanganku ke arah tv sebelum Ibra menangkap raut mukaku yang memerah.
"Asuransi Gemintang akan membuka cabang terbarunya, dan saya ingin Leta yang bertanggung jawab," ujar Bu Rani setelah video yang diputarnya ternyata berisikan informasi, mengenai rencana pembukaan kantor cabang baru Asuransi Gemintang di Bekasi.
"Saya Bu?" tanyaku tak percaya.
"Iya, dan Ibra bertanggung jawab untuk penjualan di cabang Bekasi."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
Chick-LitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...