Ruangan itu sepi. Hanya dia yang ada di dalam sana. Dua sisi tembok yang terbuat dari kaca membuat ia bisa melihat panorama kota dengan begitu jelas. Kelap-kelip lampu gedung memantul pada netranya.
Pemuda berambut pirang itu lantas berdiri setelah sekian lama duduk termenung. Ia berjalan menuju ke arah sebuah meja. Di sana, ia menyambar dua buah pistol lalu memasangnya pada sabuk. Ia juga mengambil beberapa amunisi cadangan di laci meja tersebut.
Tiba-tiba, pintu ruangan diketuk. "Masuklah," kata dia. Seorang pelayan membuka pintu. "Tuan Kradness. Makan malam Anda sudah tersedia. Dan juga... 'tamu' Anda pun sudah tiba," ucap pelayan itu melaporkan.
Kradness mengangguk. "Terimakasih, ya," katanya. Sang pelayan kemudian pamit undur diri dan kembali menutup pintu. Kembali suasana ruangan hening.
"Apa aku... sudah melakukan hal yang benar?" gumamnya pada diri sendiri.
Lagi, Kradness merenung. Ingatannya kembali ke saat itu. Tepatnya peristiwa tiga bulan yang lalu.
Ia mendapat laporan kantor ayahnya diserang. Buru-buru pemuda itu pergi ke sana.
Tetapi, ia disambut pemandangan mengejutkan. Ayahnya terkapar di lantai bersimbah darah. Sementara di dekatnya, ia melihat...
Luz dengan pistol yang masih mengepulkan asap dari moncongnya.
Tangan Kradness mengepal erat. Ia menatap dingin emblem milik ayahnya yang kini terpasang pada tuxedo yang ia kenakan. "Malam ini, kita selesaikan semuanya, Luz..."
-
-
-
"Perhatian semuanya! Di bawah hotel ini sudah dipasang bom yang siap meledak! Harap setiap orang segera mengungsi ke tempat yang aman!" seru Shima di lobi hotel. Tentu saja para pengunjung panik.
"Baiklah. Urata dan Sakata, kalian akan bimbing pengunjung ke tempat aman. Sementara aku, Senra, Kogeinu, dan Kuroneko akan mengevakuasi pengunjung lain di lantai atas!" lanjutnya.
Mereka segera berpencar. Di tengah keramaian itu, Kashi, Amatsuki, Kain, dan Shonen T mengambil kesempatan menyusup ke dalam di tengah keramaian. Mereka menyusuri lorong, terus ke tangga darurat.
"Sebaiknya kita hindari pemakaian lift. Terlalu berisiko," kata Kashi menerangkan. Tim itu terus bergerak. Waktu hampir menunjukkan pukul sebelas kurang seperempat. Waktu mereka tidak banyak. Mereka tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang ada.
Sementara di jalan menuju basement, tim penjinak bom dikawal Mafumafu dan Soraru sudah bisa masuk ke area parkir lewat rel kereta yang memang melewati bagian dalam gedung itu. Mereka sudah ada di lantai terdasar. Di sebuah ujung, tampak sebuah pintu besi berdiri apik.
"Itu jalan masuk ke ruang bawah tanahnya," gumam Soraru sambil menunjuk pintu itu. Ia dan Mafu lantas berhenti sementara Piko maju ke depan. Berbekal alat pemberian Araki, ia berhasil membuka pintu itu.
"Kalian berdua, hati-hatilah!" Eve berpesan pada Mafu dan Soraru sebelum menutup pintu bawah tanah. Soraru dan Mafu mengangguk, setelah itu memasang mode siaga.
Hening menguasai, hingga kemudian terdengar suara dari kejauhan. "Sudah kuduga mereka pasti ada di bawah sini," bisik Soraru pelan. Ia dan Mafu menatap awas. Dari jauh, mereka bisa merasakan beberapa orang datang mendekati mereka.
"Apapun yang terjadi, kita tidak boleh biarkan musuh mencapai pintu ini. Benar, kan?" ucap Mafu memastikan. Soraru mengangguk. "Ayo, Mafu!"
Di lantai ke-17, Kashitaro dan tiga temannya berhenti sejenak. "Haduh... naik lewat tangga darurat benar-benar melelahkan!" Amatsuki menggerutu. "Sudahlah, tidak ada gunanya mengeluh saat ini," ujar Kain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Utaite and Their School [END]
Fanfictionpara utaite berubah jadi anak SD unyu-unyu sekaligus kurangajar. seorang guru baru bernama Pak Shoose ditugaskan untuk mengajar anak kelas 2-C yang memiliki keanekaragaman hayati berupa anak-anak yang imut-imut sekaligus amit-amit. akankah guru baru...