Lima

2.4K 215 11
                                    


Yang tidak ditakdirkan untuk mu akan menemukan caranya untuk hilang, yang ditakdirkan untuk mu akan menemukan jalannya untuk pulang.

~Hanyalah Bukan Adalah~

❄❄❄


Perlahan aku membuka mataku, rasanya kepala ku sangat berat, badanku terasa amat lelah, seperti aku yang baru saja berhenti dari perjalanan yang panjang.

"Ara?" aku langsung menoleh kesamping saat tangan seseorang menepuk lenganku pelan.

Seorang wanita paruh baya yang tersenyum hangat kearah ku.

Siapa lagi dia?

Mata ku kemudian beralih pada pria jangkung tidak jauh berdiri darinya, yang juga sedang menatap kearah ku, tersirat begitu jelas dari tatapannya, kalau dia kecewa dengan apa yang aku lakukan.

"Saya dan Sabil permisi untuk menjamu tamu, Bunda," kata Bang Ali memutuskan kontak mata bersama ku, lalu beranjak keluar bersama Mbak Sabil.

Ingatan ku berputar pada beberapa menit lalu, aku menghela napas ketika kembali mengingat pria itu, pria dengan wajah kecewanya juga meninggalkan ku dengan sepucuk surat.

Surat itu!

Aku langsung duduk tegap dengan mata yang beredar mencari keberadaan surat itu.

"Ara mencari apa?" tanya wanita yang Abang panggil Bunda tadi, belum sempat aku menjawab, suara dehaman mengalihkan pandangan kami.

"Saya akan mengambilkan minum," katanya beranjak keluar, dengan mata ku mengekor pada lengannya yang sengaja memberitahu, kalau benda itu berada ditangannya.

Berada pada ustadz Arfa

Suamiku.

Aku langsung mengalihkan pandangan saat wanita paruh baya disamping ku ini juga akan mengikuti arah pandang ku.

"Ma-maaf, Ibu siapa?" tanyaku mencoba mengerti maksud ustadz Arfa yang ingin menyembunyikan surat itu dari Ibu disamping ku.

Dia tersenyum mengembang, lalu mengusap punggung ku lembut.

"Bunda. Mulai sekarang panggil dengan sebutan, Bunda. Bunda Ibu kandung Zain," katanya memberitahu.

Aku menahan napas sesaat, kemudian tersenyum kikuk kearahnya, jelas sekali rasanya kacau, bahkan aku sendiri tidak tahu dia adalah mertua ku.

"M, maaf Bu-Bunda, Ara gak tau." kata ku dengan perasaan tidak enak.

Ibu ustadz Arfa yang sekarang ku juluki dengan panggilan Bunda ini tersenyum hangat, dengan tangannya yang lembut mengusap punggung ku.

Ummi.

Sosoknya langsung mengingatkan ku pada Ummi, kelembutannya, senyumannya, semuanya terasa seperti ummi.

Aku langsung menghapus air mata yang kembali lolos keluar tanpa izin, melihat itu Bunda langsung segera mendekati ku dan merangkul pundak ku.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang