0.0.0

2.3K 182 36
                                    

Kedua perempuan yang lengkap dengan khimar panjangnya itu menatap dengan alis terangkat, mulut setengah terbuka, dengan pandangan prihatin bercampur aneh memandang ku.

"Kayean gak makam?" tanya ku dengan mulut penuh bakso

Aisyah mengerjap, mengatupkan bibirnya, dan mendorong mangkuk berisi bakso miliknya dengan tidak tega.

"Abisin, Ra. Ustadz Arfa gak pernah kasih kamu makan, ya?" kata Aisyah membuat Latifa terkekeh mendengarnya.

Aku meneguk es teh manis, mengusap kuah bakso yang terasa belepotan di sudut bibir.

"Ustadz Arfa gak bolehin Ara makan bakso coba?! Parah emang!Padahal Ara makan juga buat anaknya. Eh, tapi kok, Ara takut meledak ya?" aku menatap was-was pada perutku yang semakin membesar dan terasa kencang.

"Kalaupun aku jadi ustadz Arfa, aku juga bakal lakuin yang sama. Kamu kalo makan bakso udah kaya gak makan bertahun-tahun, berlebihan itu 'kan gak baik, Ra," kata Latifa yang diangguki setuju oleh Aisyah. "Eh, tapi bener lho, Ra. Perut kamu kok kayanya besar banget? Ini udah masuk sembilan bulan?"

"Hn?" aku memandang seraya mengelus perut ku yang berisi, merasa sedikit gamang. "Kayanya belum, deh. Kalau gak salah masih delapan bulan?"

"Tau gak? Seinget aku, kita baru aja kemarin ngebahas soal hasil nilai ujian, kenapa gak kerasa banget gini ya?" kata Aisyah membuat ku dan Latifa diam saling pandang.

Membuat keadaan hening beberapa saat.

Memang, sampai sekarang hanya Aisyah yang masih melajang diantara kami bertiga. Sebenarnya jika dulu aku tidak ketakutan dengan trauma yang ku alami, mungkin saat ini aku masih menemani Aisyah.

"Mm, kabar Azlan gimana, Syah?" tanya Latifa hati-hati.

"Semoga baik."

"Kalian gak saling ngabarin?" tanya ku juga penasaran.

Aisyah menggeleng pelan, menyedot es cendol miliknya  dengan santai dan melemparkan senyuman pada ku dan Latifa.

"Gak usah mendadak prihatin gitu deh. Kita emang lagi sama-sama memperbaiki diri aja, kalaupun memang jodoh tidak akan kemana."

"Iya bener, kata Kak Firman, jodoh itu titipan, kalau tidak diambil Tuhan ya diambil temen." aku dan Aisyah menyemburkan tawa mendengar itu. Setidaknya Latifa bisa mengembalikan suasana lagi.

Ayolah, aku tau Aisyah seperti apa. Sejak Azlan kembali pindah ke Amerika, Aisyah seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya. Terkadang pandangannya juga kosong sesekali pernah ku tangkap.

"Eh, aku harus balik nih, dicariin Chef Juan," kata Aisyah menatap panik pada layar ponselnya.

Ya, Aisyah memang kembali bekerja di Restoran ustadz Arfa, setelah ku ketahui dia berhenti karena kesalahpahaman di antara aku dan ustadz Arfa dulu. Tidak, tidak semudah itu membujuk Aisyah, karena aku, berhasil berkat bantuan dari Chef Juan.

"Eh, iya. Astaghfirullah, aku juga lupa ada janji mau nemenin Kak Firman ke acara Mabit," timpal Latifa ikut-ikutan.

Aku mempoutkan bibir kesal, mengapa sekarang rasanya semakin sedikit waktu kalau kita berkumpul seperti ini?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang