Tiga Belas

1.8K 176 1
                                    

Mungkin kata bisa mengelak kalau hadirnya adalah sebuah kesalahan, tapi hati selalu menjadi yang pertama menyadari, bahwa perginya adalah sebuah kehilangan.

~Hanyalah bukan Adalah~

❄❄❄




"Hati-hati di sananya ya, jaga diri baik-baik, jangan jauh-jauh dari Mas Arfa," kata Mbak Sabil seperti menasehati anaknya yang akan pergi kemping

"Halah, sok-sokan mau liburan segala. Naik angkot dari sini sampe depan komplek aja kaya mabok minum baygon." siapa lagi kata-kata nyinyir itu keluar dari mulut selain makhluk bernama Ali Syuhada?

"Akhirnya, Ara bisa pergi tanpa Abang. Terima kasih ya Allah!" kata ku membuat Abang mendelik tajam. Dimana seumur aku hidup selama 18 tahun, tidak pernah luput dari pandangan Bang Ali.

"Ohh gitu. Yang siapin baju, kita ikutin mereka," kata Bang Ali yang memang bucin kuadrat pada Mbak Sabil itu seperti menantang ku.

Aku langsung melotot tak terima, jelas saja tidak. Bagaimana kalau Abang tau sebenarnya aku mencari Gibran? Orang yang dulu pernah Abang suruh untuk menjauh dahulu dari ku.

Iya, Bang Ali memang tau. Memangnya siapa lagi kompor untuk memasukkan ku ke Pesantren dengan meyakinkan Abi dan Ummi.

Aku melihat ustadz Arfa yang memang sedari tadi ku tunggu akhirnya keluar juga.

"Ketemu kuncinya?" tanya ku pada ustadz Arfa yang tadi mencari kunci motornya yang hilang. Atau lebih tepatnya dia yang lupa menyimpannya di mana.

Ustadz Arfa tidak menjawab, dia hanya mengangguk mengiyakan.

"Bye bye, Abang. Jangan kangen Ara ya," kata ku mengikuti ustadz Arfa yang berjalan menuju motornya.

Iya, motornya ustadz Arfa. Saat kemarin tiba-tiba ada orang yang mengantarkan motor kesini, tadinya ku kira aku menang undian, ternyata tidak.

"Fa, jangan lupa lempar aja dia ke Pantai Anyer, siapa tau berubah jadi mermaid di sana." aku menatap sinis Abang yang selalu asal bicara, dengan Mbak Sabil yang memperingatinya pelan.

Ustadz Arfa memakaikan ku helm yang ku gunakan. Entah sejak kapan kebiasaan ini menjadi rutinitas.

"Ara pergi, assalamu'alaikum!" kata ku melambaikan tangan setelah duduk di boncengan ustadz Arfa.

Ustadz Arfa melajukan motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalan kota dengan ransel berisi pakaian yang ku gendong dibelakang.

Ini pertama kalinya bagi ku bepergian jauh dengan menggunakan sepeda motor. Dan bersama orang yang baru saja hadir di hidup ku.

Jelas saja, terkadang aku bergerak-gerak karena terlalu pegal dengan posisi duduk yang terus seperti ini.

"Mau berhenti dulu?" tanya Ustadz Arfa sedikit berteriak dibalik helmnya, saat kami berhenti di lampu merah.

Aku sedikit memajukan wajah agar dapat terdengar olehnya, "Gak, Ara cuma pegel," kata ku. Ustadz Arfa hanya mengangguk, terlihat oleh ku dari arah spion.

Aku sedikit tertegun saat tangannya menarik lenganku dan membawanya memeluk pinggangnya.

Sontak itu langsung membuat ku merasa canggung. Aku memang pernah beberapa kali memeluknya. Namun, kali ini rasanya beda. Jika dulu, dia memeluk ku hanya untuk memenangkan ku, dan aku pun merasa dia sudah seperti Abi, yang selalu ada disaat aku butuhkan.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang