Tiga puluh satu

1.7K 180 8
                                    

Selalu begitu, bukan?

Sudah pernah ku bilang, kalau sesuatu yang kita tidak harapkan akan datang tanpa undangan, namun yang kita harapkan justru menjauh pergi bahkan sepertinya tidak menoleh kebelakang, bahwa ada makhluk yang memperjuangkan yang namanya harapan.

Seperti malam ini contohnya, aku mati-matian berusaha untuk tidak lagi bertatap muka secara langsung dengannya, siapa lagi bukan ustadz Arfa?

Si Limbat yang selalu berhasil membuat ku malu disetiap keadaan.

Tapi sekarang, seolah tidak membiarkan ku merasa tenang, Abang berulah. Dan kali ini, dia meninggalkan ku setelah menyetujui aku akan pergi bersamanya ke pernikahan Latifa.

Jadilah sekarang, aku duduk merenggut dibelakang boncengan prasasti berjalan yang bernama Arfa Zain Malik.

Untunglah dia cukup peka, dan langsung mengantar ku tanpa aku harus berbicara, yang akan membuatnya menjadi seperti Limbat.

30 menit sudah berlalu, seperti hari-hari sebelumnya, kita habiskan dalam keheningan disepanjang perjalanan.

Tidak ada satupun yang berniat untuk membuka obrolan lebih dulu.

Aku turun dari motornya, melepaskan helm dan merapikan kembali bentuk jilbab ku.

Suara ringtone ponselnya membuat ku melirik, ada video call dari seseorang.

Dia ikut turun, lalu segera mengangkatnya, dan sedikit menjauh dariku.

Dan lagi, kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Saat 'wanita yang dicintainya' itu menelpon, dan terakhir kali berhasil membuatnya khwatir dan menahan amarah.

Aku menajamkan telinga, berharap bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Suara alunan musik dan ramainya para tamu undangan membuat ku tak bisa menangkap apa-apa, bahkan bersembunyi dibalik karangan bunga ucapan selamat atas pernikahan Latifa dan Kak Firman pun sempat terbesit dipikiran ku.

Dia menoleh kearah ku, dengan helaan napas. Seperti maling yang tertangkap basah, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, bahkan tak sadar jika aku mencabuti bunga yang melengkapi keindahan tulisan 'Happy Wedding.'

Dia berjalan kearah ku, aku berkali-kali merutuki diri. Bodoh! Kenapa harus sampai ketahuan?!

Dia memberikan ku ponselnya, masih dengan wajah datarnya.

Aku mengernyit, namun berikutnya meraih ponsel itu.

Senyuman ku mengembang, saat melihat sosok yang sudah lama aku rindukan.

"Bundaaaaaaaa," kata ku girang menyapa Bunda yang tersenyum ramah disana.

"Assalamu'alaikum, Adek. Gimana, kangen Bunda gak?"

"Wa'alaikumussalam, Ara kangeeen banget. Bunda kapan kesini lagi?" aku sedikit merengut, wanita paruh baya ini sudah berhasil membuat ku menahan rindu.

"Lho, kan besok Zain kesini? Kamu gak ikut?" tanya Bunda membuat ku menoleh pada ustadz Arfa dengan tatapan bingung.

"Ko ustadz gak bilang sih?!" kata ku spontan.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang