Empat puluh satu

1.6K 184 19
                                    

Suara klakson motor membuat pria berpakaian dinas lengkap dengan topi dan tongkat hitamnya jadi tersentak kaget sampai membuat segelas kopi hitamnya tumpah membanjiri lantai.

Arfa langsung turun dari motornya karena sama sekali tidak bermaksud membuat satpam rumah menjadi terkesiap seperti ini.

"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," kata Arfa dengan napas yang sedikit terengah-engah.

Pak Mugi segera membukakan pintu gerbang dengan Arfa yang masih lengkap memakai helm dan jaket hitamnya.

"Bapak yang seharusnya minta maaf, Mas. Hadeuh Bapak tadi cuma kaget," kata Pak Mugi membuat Arfa tersenyum sekilas. Matanya langsung menangkap lantai 3 dengan balkon yang menghadap langsung ke taman samping.

Ada helaan napas lega saat dia berhasil sampai disini, dirumah istrinya.

"Sudah Mas Arfa, biar Bapak aja yang masukin motornya." Arfa mengangguk sopan berterima kasih, lalu memberikan kunci motornya pada Pak Mugi.

Saat memasuki pintu, Arfa langsung disambut oleh Bi Minah, orang yang biasa membantu pekerjaan rumah.

"Mas Arfa toh? Walah Mas, malam sekali pulangnya." Arfa kembali tersenyum simpul menjawabnya.

Matanya langsung tertuju pada pintu kamar yang tertutup, "Rihanna sudah tidur?"

"Mbak Ara? Iya Mas, Mbak Ara sudah tidur sepertinya. Daritadi pagi badannya panas Mas, Bibi juga khawatir, apalagi Mbak Ara keras kepala sampai tidak mau makan malam apalagi minum obat, pintu kamarnya juga dikunci. Dan bilang sama Bibi gak usah kasih tau Pak Ali dan Bu Sabil."

Garis wajah Arfa berubah, tanpa kata lagi dia langsung menuju kamar Rihanna.

Arfa mencoba memutar knop pintu, benar, pintunya sengaja dikunci dari dalam.

Arfa masuk ke ruang kerja Abi yang tepat bersebelahan dengan kamar istrinya, disana Arfa mengambil kunci cadangan yang Bang Ali beritahu jika Rihanna sesekali akan seperti ini, mengurung diri dan tak mau keluar sama sekali.

Pintu terbuka, membuat Arfa menghembuskan napas lega, saat kembali melihat istrinya, yang sekarang terbungkus selimut hanya menyembulkan wajah dengan mata terpejam.

Rasa penat dan lelahnya hilang seketika, bahkan persendiannya yang seakan copot, menempuh jarak dari Jawa Timur sampai Jakarta, tak lagi dia rasanya. Semuanya terbayar dengan wajah cantik yang terlelap.

Arfa mendekat, memandang lurus wajah Rihanna, wajahnya lebih pucat dari biasanya. Suhu tubuhnya di atas rata-rata.

Arfa menghela napas ketika mengingat pembicaraannya sebelum sampai disini.

"Daf, antum melihat ponsel saya?" tanya Arfa pada Dafa—sahabat karibnya yang sedang mengunjungi pesantren dan menginap dirumahnya, bersama istrinya.

"Zain gak pernah berubah, astaghfirullah! Aku yakin kalau tangannya tidak menempel, pasti lupa menaruhnya dimana," timpal Gina—istrinya Dafa yang sedang memangku anaknya, Akmal.

"Lihat tidak? Saya harus berangkat sekarang," kata Arfa dengan pakaiannya yang sudah rapih dan siap untuk pulang ke Jakarta.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang