Tiga

2.7K 229 0
                                    

Aku menahan napas sejenak, mata yang terpejam membuat ku, tanpa sadar menyiapkan diri untuk sebuah nama yang akan menjadi sejarah dalam hidup ku.

Waktu seakan terhenti.

Membiarkan ku mengingat baik-baik nama yang akan bersanding dengan nama ku.





"Ya Arfa Zain Malik, aku nikah dan kawinkan engkau dengan Adik kandung ku yang bernama Rihanna Zahratusyita binti Syakir Akhtar, dengan mas kawin 5,5 gram emas dengan 10 dinar dan hafalan 30 juz Al-Qura'n dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Rihanna Zahratusyita binti Syakir Akhtar dengan mas kawin tersebut tunai."







Arfa Zain Malik.






"SAH!"

"Alhamdulillah!"

Bahu ku meluruh seketika, air mata ku pecah, jatuh membanjiri wajah ku yang seakan tidak peduli dengan polesan riasan yang menjadi topeng atas hancurnya aku dihari ini.

Sepasang tangan mencengkal erat bahu ku, membantu ku untuk bangkit, berkali-kali Kakak ipar ku menghapus air mata ku yang keluar entah untuk apa.

"Bukan kamu yang mau, tapi Allah yang udah tulis ini semua dihidup kamu, sayang."

Aku memeluk erat wanita yang sudah menggantikan peran Ummi dihidup ku, aku tidak tahu harus berkata apa.

Aku ... Aku menikah dengan orang yang sama sekali tidak pernah ku harapkan.

Rabb ... kenapa harus dia?

Bahkan Engkau tau jika pertemuan kita tidak pernah berujung dengan perdamaian.

"Allah gak akan nguji kamu diluar batas kemampuan. Kamu harus kuat, Dek."

"Kenapa ustadz Arfa?" tanya ku menatap Mbak Sabil yang tidak dapat berkata-kata.

"Kita temui suami kamu," kata Mbak Sabil menggenggam erat lengan ku tanpa berani memandang ku sama sekali.

Satu demi satu anak tangga ku turuni, tangan ku semakin erat menggenggam  lengan Mbak Sabil.

Semua pandangan tertuju pada ku. Aku berhenti, pada anak tangga terakhir, saat sebuah tangan terulur didepan ku.

Perlahan aku mengangkat wajah, aku melihat wajah yang selama ini coba ku hindari, wajah yang selama ini menjadi penyebab beratnya hari-hari yang ku lalui, tersenyum hangat menunggu ku menyambut uluran tangannya.


"Mana ada perempuan yang mau sama orang yang datar kaya ustadz!"

"Kamu pikir ada orang yang mau sama perempuan yang cengeng kaya kamu?!"

"Setidaknya Ara punya hati! Ara gak nikahin perempuan cuma karena ustadz mau milikin pesantren ini!"



"Saya tidak pernah sedikitpun mengajak kamu untuk selalu bertengkar setiap hari, tolong berhenti mencampuri urusan saya. Saya tidak tau kamu, dan kamu, tidak tau saya."

"Dek, Arfa menunggu?" aku menoleh pada Abang yang menyadarkan ku, wajahnya begitu cerah tersenyum atas kebahagiaan hari ini baginya.

Aku memejamkan mata, menerima uluran tangannya. Aku tidak boleh menangis! Tidak! Bahkan aku pun memiliki keuntungan dari penyatuan ini.

Dia menuntun ku menuju kursi yang semula digunakan untuk ijab qobul tadi.

Semua orang disana mengangkat kedua tangannya, berdoa, dan bersyukur atas kebahagiaan yang mereka rasakan hari ini.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang