Empat puluh dua

1.7K 190 25
                                    

Hawa dingin setelah hujan terasa jelas menusuk setiap pori-pori ku, sesekali aku mengusap-usap tangan karena saking dinginnya.

Baju basah kuyup dengan hembusan angin selama perjalanan dengan kendaraan beroda dua, semakin membuat ku merapatkan tubuh memeluk ustadz Arfa dari belakang.

Aku turun dari motornya setelah menempuh perjalanan hampir memakan waktu seharian lamanya. Setelah mendapatkan kabar duka atas meninggalnya Kiyai Khalid, saat itu juga aku dan ustadz Arfa langsung menyiapkan keberangkatan kesini.

Awalnya memang ustadz Arfa melarang, namun melihatnya dengan keadaan yang tidak baik-baik saja membuat ku tak bisa membiarkannya sendirian. Dan sampai sekarang pun, rasanya aku masih tidak berani mengeluarkan suara, karena ustadz Arfa masih bungkam dengan pandangan kosong setelah mendapat kabar itu.

Ustadz Arfa membukakan helm yang ku kenakan, dia melepas jaketnya dan memakaikannya pada ku.

Kami sampai didepan rumah besar dengan gaya American klasik, dengan jendela besar sebagai ikoniknya.

Semula aku mengernyit karena tiba-tiba harus terdampar dirumah asing ini, tapi ustadz Arfa langsung berkata sebelum aku bertanya, "Ini rumah kita." saat itu aku hanya mengangguk tak berani bertanya lebih jauh, ini bukan waktu yang tepat.

Walaupun ... Satu hal lagi yang baru ku tahu darinya.

"Kamu langsung masuk kedalam, istirahat, nanti pas pemakaman saya jemput," kata ustadz Arfa menepuk pelan kepala ku, dengan tangannya yang terbungkus oleh sarung tangan tebalnya.

Aku dongak, menggeleng tak setuju, "Ara ikut," kata ku membuatnya menatap ku sekilas dengan helaan napas.

"Istirahat, Dek. Dengarkan perkataan saya."

Sekali lagi aku menggeleng, "Ara ikut. Ara baik-baik aja ustadz," kata ku tak mau tahu. Aku menatap tepat manik mata hitamnya, meyakinkan kalau aku memang baik-baik saja.

Ustadz Arfa tersenyum kecil dan kembali mengusap kepala ku lembut, "Ganti pakaian dulu, gunakan jaket tebal. Kamu belum sembuh dan langsung terkena hujan, minum vitaminnya juga. Jangan lupa." aku mengangguk mengiyakan semua perkataannya.

Setelah selesai berganti pakaian kering, aku dan ustadz Arfa langsung menuju pesantren, tempat Kiyai Khalid akan dimakamkan bersama para tokoh pendahulu pesantren lainnya disana.

Suasana kabung langsung terasa jelas oleh ku, hilir mudik orang berlalu-lalang dengan wajah sendu, tak jarang aku melihat sebagian dari mereka sudah memiliki mata sembab dan hidung memerah, menangis.

"Jangan memaksa diri, mengerti?" peringkat ustadz Arfa saat kami berada di gerbang pesantren. Aku hanya mengangguk kecil, kemudian mengekornya saja dari belakang.

Ustadz Arfa langsung menuju kerumah Kiyai Khalid yang tepat berada didalam pesantren. Gema suara orang membacakan surat yasin terdengar pilu, dengan sesekali terisak.

Hati ku mencelos sakit, melihat sang Guru besar, sekarang terbaring kaku tak bergerak.

Tubuh ustadz Arfa langsung ditumbruk oleh tiga wanita sekaligus, mereka yang terlihat menahan tangisnya, tumpah begitu saja dibahu ustadz Arfa.

Ustadz Arfa masih terdiam, tubuhnya masih berdiri tegak, membiarkan mereka menumpahkan semuanya pada ustadz Arfa. Seolah dia menjadi tiang yang kuat dan tegak. Namun yang ku lihat, ada sebulir air matanya yang berhasil lolos keluar dari matanya.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang