Sebuah tangan kekar dengan sedikit urat yang menonjol kembali melingkar dipinggang ku. Jantung ku sudah lebih normal dari sebelumnya.Rasanya aneh, namun tak dapat ku jelaskan.
"Maafkan saya," katanya pelan dengan wajah yang terbenam dilekuk leher ku.
Aku masih diam, tak tau harus berkata apa. Berkali-kali aku menarik dan menghembuskan napas tak menentu.
Ini tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
Ustadz Arfa sudah mendapatkan hak yang seharusnya dia dapatkan sejak mengucapkan qobul atas nama ku.
Namun malam ini, dia baru mendapatkannya.
"Dek, kamu marah?" tanyanya lagi, kali ini aku menoleh membalas tatapannya yang seakan menggambarkan kecemasan.
Aku kembali menunjukkan senyuman kecil, lalu menggeleng. Senyuman lebar kembali tercetak diwajahnya, dia semakin mempererat pelukannya.
"Terima kasih, sayang...."
"Gak bersiap sholat malam?" tanya ku akhirnya mengeluarkan suara. Ustadz Arfa kembali mengangkat wajah dan tersenyum. Malam ini, senyuman seakan tidak akan pernah hilang dari wajahnya.
"Saya mandi terlebih dahulu," ucapnya kembali mendaratkan kecupan di kening ku, lalu beranjak masuk kekamar mandi.
Aku menghembuskan napas panjang, tak bisa dibohongi kalau aku juga tidak bisa menahan senyum saat ini.
Malam ini mungkin akan menjadi bersejarah dalam hidup ku, kenangan yang tidak pernah mungkin terlupakan.
Rihanna, kamu melakukan hal yang tepat.
Mata ku menoleh pada getaran ponsel yang berada diatas nakas, tepat disamping ku. Aku membungkus tubuh dengan selimut, mencoba duduk dan melihat pop-up messeg dari siapa sepagi ini.
"Dek, ayo bersiap," aku sedikit terperanjat saat mendengar ustadz Arfa yang sudah keluar dari kamar mandi, lengkap sudah dengan baju koko putih kebanggaannya. "Mau saya bantu?" tannya lembut dengan nada khawatir, mungkin karena perubahan dari ekspresi wajah ku.
Aku menggeleng cepat, lalu langsung beranjak kekamar mandi. Dia terkekeh pelan melihat ku, lalu mengampar sajadah untuk ibadah malam ini.
Mungkin tidak aneh jika setiap malam aku selalu menangis menikmati kesyahduan bacaan tilawahnya saat menjadi imam untuk sholat malam seperti ini.
Namun, kali ini dengan senyuman yang tercetak kecil di bibir ku. Walaupun aku tidak bisa menahan air mata yang mengalir semakin deras. Berkali-kali aku memejamkan mata karena rasa sesak yang menyergap dadaku.
Ucapan salam terucap, sebagai akhir dari ibadah malam ini. Dia mengangkat tangannya berdo'a, dan seperti biasanya lagi, aku selalu mengaminkan setiap permintaan yang dia langitkan.
Ustadz Arfa berbalik, mengulurkan tangannya, senyumnya masih tak hilang.
Aku maju, mencium tangannya takzim, namun dengan waktu yang ku tahan lama. Membuat buliran air mata ku jatuh di punggung tangannya.
Aku mendongak, tersenyum, namun dengan tangannya yang masih ku genggam.
"Ustadz ... Ceraikan Ara."
°°°
Bohong jika aku bilang pagi ini tidak berbeda, bohong jika aku bilang aku masih bahagia, dan bohong jika aku bilang dia baik-baik saja.
Apa konsekuensi yang ku dapat dari permintaan terbodoh yang ku ucap semalam?
Jawabannya, aku kembali menghilangkan senyum orang yang benar-benar menyayangi ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanyalah bukan Adalah (END✔)
Romance"Aku dan dia itu mempunyai banyak perbedaan, cuma satu kesamaan diantara kita. Kalau, kita sama-sama ingin bersatu dengan orang yang kita cintai. Perempuan yang dia cintai itu bukan aku, dan juga, laki-laki yang aku inginkan itu bukan dia." °°° Ri...