Empat puluh tujuh

1.7K 183 22
                                    

Kalau yang agak pusing bacanya

Alurnya yang terkesan berbelit

°

Ikutin aja dulu ya, semua pertanyaan disetiap part akan dapat jawabannya sedikit demi sedikit.

°

Enjoy, and hipi riding♡

°
°

Pria bertubuh jenjang, dengan garis wajah keras, tengah berdiri dengan penuh harap dibalik pembatas besi itu.

Arfa Zain Malik, pria yang seakan kehilangan arah. Dia benar-benar terlihat kacau, bajunya yang lusuh, wajahnya yang sendu, dengan pandangan kosong.

Siapapun, tidak akan mengira jika dia adalah seorang Arfa. Pemilik restoran dengan banyak cabang, ataupun pengurus pesantren dengan wibawa tinggi.

Arfa menggenggam pagar besi berwarna hitam didepannya dengan erat, terlihat dibalik sana menampakkan wajah iba pria berkumis tebal yang tidak bisa melakukan apa-apa.

"Pak Arfa lebih baik pulang, Pak," kata Pak Mugi tak tega melihat kondisi Arfa yang kacau balau.

"Dia masih belum pulang?" tanya Arfa lirih dengan senyuman miris terukir diwajahnya.

Pak Mugi, satpam yang bertugas menjaga rumah besar itu kembali menggeleng kecil.

"Pulang, Pak. Sebelum Pak Ali kembali lepas kendali seperti kemarin," kata Pak Mugi lagi dengan nada yang sedikit gemetar sungkan tak tega.

Keadaannya serba salah sekarang, antara ingin membukakan pintu gerbang untuk Arfa, tapi tidak ingin kejadian seperti kemarin kembali terulang.

Dimana Ali yang selalu menanggapi masalah dengan kepala dingin, kemarin benar-benar lepas kendali sampai melayangkan tinjuan tepat diwajah Arfa yang semakin memperihatinkan.

Arfa melepaskan genggaman tangannya yang mencengkram erat pagar tinggi didepannya, sebagai pelampiasan rasa emosi yang dia tahan dengan kabar yang sama sekali tidak ingin ia dengar.

Tubuh Arfa menegak, saat sebuah motor hitam menuju kearahnya. Wajah harap kembali Arfa pancarkan, namun orang yang berada di atas motor dengan helm fullface-nya sama sekali tidak memandang Arfa sedikitpun.

Keadaan benar-benar berubah, kepergiannya merubah semua orang yang mengenalnya.

Termasuk Arfa, menjadi tersangka utamanya.

Setiap detik, menit, dan jam Arfa selalu bertanya ... Mengapa gadis itu pergi?

"Dia masih belum pulang," kata Bang Ali membuka kaca helmnya, namun pandangannya tetap lurus, menunggu Pak Mugi membukakan gerbang untuknya.

Arfa diam, dadanya yang seakan dibebani beton-beton besar, kini semakin bertambah sakit.

Motor yang Ali kendarai masuk kedalam rumah, wajahnya yang juga tak kalah kusut dengan keringat yang membanjiri tubuhnya. Walaupun tanpa kata, Ali juga mencari Adik semata wayangnya.

Arfa masih terus memperhatikan kedalam rumah, matanya masih terpaku pada lantai dua dengan balkon yang menghadap langsung ke taman samping rumah. Tempat yang menjadi saksi, awal kebenciannya sampai ... Gadis itu bisa menerima dirinya.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang