Tiga puluh sembilan

1.7K 192 39
                                    

"Bang, percaya gak kalau Si Leon merencanakan sesuatu yang jahat, seperti terkesan kaya mau menguasai dunia gitu, Bang!"

Abang berhenti, menatap ku diam, ah tidak, seperti melihat seorang pengemis malah.

"Kamu ... Kalau ditinggalin Arfa jadi gesrek gini ya?" tanyanya dengan nada prihatin.

Aku mengatupkan bibir rapat, memaksakan sebuah senyuman manis. "Nyesel Ara cerita sama swalow Fir'aun." aku langsung meraih punggung tangannya, menciumnya takzim. Lalu segera turun dari mobilnya setelah mengucap salam dengan kesal.

Abang pergi dengan mobilnya setelah mengantar dengan selamat sampai kampus.

Mata ku beredar, mencari dua makhluk yang biasanya sudah menempel satu sama lain seperti teletubbies.

Itu mereka!

"Assalamu'alaikum!" ucap ku menghampiri Aisyah dan Latifa yang sedang duduk lesehan di rumput—taman kampus.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!" jawab mereka berdua kompak. Aku langsung mengambil tempat duduk diantara keduanya.

"Ustadz Arfa ke Pesantren lagi?" tanya Latifa menoleh kearah aku datang. Aku hanya mengangguk singkat mengiyakan, lalu menoleh pada Aisyah yang merengut memegang buku tebal.

"Cuacanya bagus ya, Moms? Aisyah aja tobat pegang buku," sindir ku langsung mendapatkan tatapan sinis dari Aisyah, sedangkan Latifa terkikik geli.

"Gini nih, calon-calon tetangga yang suka mendzalimi, miskin diledekin, kaya dicurigain!"

Aku tertawa terbahak-bahak melihat ekpresi Aisyah.

"Dunia emang gitu, Syah. Hanya berkomentar dari yang mereka liat," jawab Latifa kalem.

"Ho oh, Ara juga punya tetangga kaya Alien Mars udah mulai terbiasa. Sumpah gak kuat ya Allah...," aku kembali menyemburkan tawa mengingat kejadian tadi subuh. "Azlan kaya orang kerasukan minta kopi, pas subuh Ara puter lagu Indonesia raya kearah balkonnya!"

"AYAAAMMMMM! EH AYAM AYAM!" aku langsung noleh kebelakang saat seekor kodok melompat tepat kearah kaki ku.

Latifa dan Aisyah sudah menjerit histeris dan heboh, aku ikut melompat dan menjauh, sedangkan anak-anak lain yang sedang duduk di sekitar sana juga sama. Bahkan ada yang melompat menubruk tempat sampah, dan bahkan sampai naik keatas kursi taman sambil ngibas-ngibasin rambutnya.

Dipikir tu kodok kutu loncat kali. Aku cuma bisa tertawa puas, bahkan tak peduli sudah berguling ke tanah sambil megang perut sakit karena tertawa.

"AZLAN UDAH! UDAAAHH!" teriak Latifa pada dalang sebenarnya, Azlan. Pria slengean yang juga sama sedang terbahak-bahaknya melihat ini semua.

"ZLAAAN! JEMPOLNYA ABU LAHAB! KANTONG KRESEKNYA HAJI MUHIDIN! AMBIL GAK?!" ancam Aisyah histeris sambil mengacungkan buku tebalnya kearah Azlan. Itu membuat ku dan Azlan semakin menyemburkan tawa tak kuat.

Sungguh demi apapun perut ku terkocok geli!

Azlan bangkit dengan memegang perutnya dan masih tertawa, lalu mendorong pria di sampingnya untuk maju. Pria yang Azlan dorong tadi mengambil kodok itu dengan santai, mencempal dengan daun kering dan membuangnya ke tong sampah.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang