Dua puluh satu

1.8K 161 0
                                    

"Bayangin aja dulu kalau kita nikah, kamu ngurus anak dan aku selingkuh."

~Aisyah~

❄❄❄


"Gue makin ganteng ya?"

"Ko bisa?"

"Ya bisa dong, gue udah terlahir kaya gini mau gimana lagi?"

"Bukan itu! Ko bisa rumah kamu sebelahan sama Ara?" tanya ku pada pria berkaos oblong dengan celana jins yang robek-robek seperti digigiti anjing.

"Itu pertanyaan tidak terduga, gue kira lo bakalan nanya 'kangen gak sama mantan pacar boongan?'" katanya malah membahas masa itu. Aku berdecak kesal lalu menatapnya tajam. "Ck, elah. Emang gak pernah berubah lo, iye gue jelasin nih. Jadi, kenapa lo bisa gak tau padahal kita tetanggaan? Pertama lo hampir pulang dari pesantren cuma hari raya paling, atau apalah gue pernah liat lo waktu itu. Kedua tu balkon kamarnya ade cewe gue, gue kaga mau masuk ke kamarnya, bisa berubah jadi siluman rubah dia. Dan yang ketiga, gue hampir menetap di Amerika, karena itu pulang ke Indonesia cuma sesekali doang. Clear?"

Aku menghela napas mendengar semua penjelasan Azlan. Lalu melirik sebentar pada wanita separuh baya itu yang mati-matian menahan kantuknya di sebelah ku.

"Ara masuk dulu, kasian Bi Minah," kata ku bangkit dan membantu Bi Minah untuk tetap berjalan tegak. Dia sampai rela menemani ku untuk bicara dengan Azlan di waktu istirahat seperti ini.

Azlan diam memperhatikan ku dengan wajah sengaknya, "Yakin cuma tanya itu?"

Sekali lagi, aku menghela napas. "Ara kirim alamat kampus Ara besok," kata ku akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Azlan. Sosok yang tidak mungkin terlepas dari kisah masa lalu ku.

Dia sahabat Gibran.

Si pemberi surat itu.

°°°

Aku menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, tubuh ku sudah sangat terasa lelah, tapi mata dan pikiran ku seolah menolak untuk istirahat.

Aku melirik pada pria yang dengan damainya menutup kedua matanya, dahinya sedikit berkeringat. Mungkin karena efek obatnya yang mulai bekerja.

Ini pertama kalinya aku tidur dengan seorang pria selain Abi, aku tidak tau perasaan apa yang membuat ku gelisah seperti saat ini, mungkin karena lelah, atau ... Sahabat karibnya yang baru saja ku temui.

Aku merasa, Gibran sudah berada didepan mata.

"Adek?" mata ku membulat sempurna, saat pintu kamar ku terbuka dan menampakkan sosok Abi disana.

"Abii...," berkali-kali aku mengucek kedua mata memastikan ini bukanlah sebuah mimpi.

"Masih belum bisa tidur? Abi temani ya?" tanpa aba-aba aku langsung memeluk Abi begitu erat. Rindu ini, tertumpah begitu saja.

"Putri kesayangan Abi sudah besar, kenapa menangis, huh?"

"Ara merindukan Abi," lirih ku bersandar di pelukannya. Abi mengusap kepala ku lembut. Perlakuan seperti ini yang membuat ku rindu.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang