Dua puluh tujuh

1.7K 169 69
                                    

Manusia itu terkadang memang aneh, merasa dirinya tersakiti tapi tidak pernah menyadari bahwa dia juga menyakiti.”

~HBA~

❄❄❄






Aku meremas erat gamis yang ku kenakan, berkali-kali tak hentinya aku terus melangitkan istighfar, menunduk atas semua kesalahan ku.

Latifa duduk disamping ku, berkali-kali mengusap punggung ku dan menenangkannya.

"Gapapa ko Ra, ustadz Arfa baik-baik aja. Kata Ka Firman dia cuma jatuh dari motor."

Aku masih diam mendengarkan Latifa, penyesalan dan rasa bersalah terus menggerogoti dadaku yang terasa semakin sesak.

Latifa mengambil sebelah lengan ku dan menggenggamnya, "Ustadz Arfa baik—eh, Ra? Kamu demam?!"

"Keluarga Arfa Zain Malik?" semua pandangan langsung tertutup pada orang berjas putih dengan stetoskop yang menggantung di lehernya.

Latifa langsung memandang ku yang tak kunjung beranjak, masih diam semakin erat meremas mengepalkan tangan ku.

A ... Aku tak mungkin menemuinya saat ini. Dia masih marah pada ku. Dan aku, aku hanya tidak ingin dia mendiami ku selamanya.

"Ra? Ustadz Arfa udah sadar, kamu—"

"Saya izin menemuinya terlebih dulu, ada barang yang harus saya kembalikan," aku menoleh pada Ka Firman yang sedari tadi ikut diam menunggu.

Dalam hati, setidaknya aku merasa lega mendengarnya sudah siuman.

"Mm, Ra. Aku pamit pulang duluan ya, Ayah udah jemput aku dibwah. Maaf banget, aku gak bisa nemenin kamu," kata Latifa yang sudah berdiri siap untuk beranjak dengan ponsel yang menempel di telinganya, aku tersenyum dan mengangguk. Ayah Latifa adalah orang yang paling tidak bisa dibantah, karena itu aku tau Latifa sangat segan pada Ayahnya.

Latifa menepuk pundak ku sebelum dia berlalu pergi, "Kamu harus yakin, Ra. Allah selalu ada untuk menolong setiap hamba-Nya." lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menjawabnya.

Aku kembali menatap pintu bangsal yang terdapat ustadz Arfa didalamnya, ingin sekali rasanya aku melihat dan tau bagaimana keadaan dia saat ini juga.

Aku memutuskan untuk beranjak dan akan menemuinya, kepala ku semakin berdenyut pusing ketika aku berdiri, rasanya semua benda yang berada disekeliling ku berputar-putar serempak.

Aku memegang knop pintu kamarnya, terdengar percakapan dua orang didalam, Ka Firman masih menemani ustadz Arfa di sana.

Aku kembali menarik lenganku, rasanya masih tak sanggup. Dia terluka karena ku, dan aku, tidak mau dia membenci ku selamanya.

Kini aku benar-benar merasa seperti sebuah pohon kering diantara rimbunnya pohon lain, hanya akan merusak pemandangan indah disana.

Sendirian, kekeringan, dan sekarang patah karena ego ku sendiri.

Aku menarik napas dalam, kembali memejamkan mata dengan pandangan buram, sampai ... Semuanya terlihat gelap.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang