Empat puluh tiga

1.8K 195 19
                                    

Suara mesin motor yang terhenti didepan rumah membuat ku segera menutup novel yang sedari tadi ku baca, dan langsung melompat kebalik pintu

"Assalamu'alaikum," ucapnya mengetuk pintu dan membukanya perlahan.

Aku menyembulkan kepala dibelakang pintu, membuatnya sedikit terkejut namun langsung disusul dengan senyuman.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab ku dengan nada yang dibuat-buat. Meraih tangannya, menciumnya takzim.

Aku langsung mendorong, menutup pintu dan menarik ustadz Arfa untuk duduk di ruang tengah, tempat aku menunggunya tadi.

Tentu saja aku tidak menyambutnya langsung didepan pintu, karena aku akan melepaskan jilbab saat sendirian dirumah. Dan sekarang hanya ada ustadz Arfa, tidak berdosa bukan jika dia melihat rambut ku? Tentu saja tidak.

Bunda sudah pulang sejak seminggu yang lalu, sedangkan aku memutuskan untuk mengambil cuti kuliah, dan memilih lebih lama menemani ustadz Arfa disini.

Pastinya dengan sedikit paksaan dari Abang, katanya seorang istri harus menemani kemanapun suaminya pergi.

Saat itu aku hanya mengiyakan, lagipula aku punya niat terselubung sendiri. Ingin berlibur lebih panjang lagi. Haha.

"Kurang manis gak?" tanya ku saat dia menyeruput teh hangat yang sudah ku sediakan untuknya.

"Terlalu manis malah," katanya tersenyum dengan mata yang menatapku tepat.

Aku sedikit mencibir, ku raih lagi novel yang tergeletak dimeja, lalu menidurkan kepala, menjadikan pahanya sebagai bantal untuk ku.

Ayolah, aku sendiri tidak tau kenapa urat malu ku semakin hari semakin hilang bersama ustadz Arfa? Ya contoh kecilnya saja seperti ini, saat aku menyambut kepulangannya dengan rambut yang dicepol tinggi-tinggi dan hanya memakai baju berlengan pendek.

"Sudah berapa kali saya peringatkan? Jangan membaca sambil tiduran, itu tidak baik untuk mata kamu," tegurnya, aku membalik halaman dalam novel tak mengindahkan perkataannya. "Dek," panggilnya lagi, aku menurunkan sedikit novel yang menghalangi pandangan ku.

"Kalau Ara bacanya sambil duduk bakal cepat pegal," elak ku. Aku langsung berdecak kesal saat dia mengambil novel dari tangan ku begitu saja. "Balikiiiin!"

"Biar saya bacakan kalau kamu tidak mendengarkan perkataan saya," katanya membuat ku tersenyum merubah posisi jadi lebih nyaman untuk mendengarkannya. Entah, ustadz Arfa itu seperti memiliki aura yang berbeda saat bercerita.

Dan aku menyukainya.

"Ko gak mulai-mulai?" heran ku saat ustadz Arfa hanya menatap pada buku bacaannya, membacanya dalam hati, membuat ku menggerutu menunggunya.

"Saya lebih suka kamu memperbanyak murajaah, Dek," katanya dengan intonasi memerintah namun lembut, membuat ku langsung duduk menghadapnya.

Aku sedikit tercenung mendengarnya, "Ara juga 'kan butuh inspirasi buat tulisan Ara, ustadz udah pernah bilang bakal kasih izin Ara nulis lho," alibi ku membuatnya tersenyum mengangguk lalu mengusap kepala ku pelan.

"Iya saya izinkan, tapi kamu harus bijak dalam memilih bacaan, ambil sisi baiknya saja dari bacaan itu. Mengerti?"

"Hm. Jadi mau bacain gak?"

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang