Tujuh

2.2K 208 5
                                    

Iman yang membuat kita menepis jauh untuk berpikir bahwa dunia memang tidak seadil ini pada kita

~Hanyalah Bukan Adalah~

❄❄❄



"Beneran tidak mau ambil cuti lagi? Kamu baru aja menikah lho, Dek?" kata Abang sambil memasukkan makanannya kedalam mulut.

Aku yang juga duduk berhadapan dengan Mbak Sabil dimeja makan, dengan sarapan di depan masing-masing, mengangguk pasti. "Iya, lagian udah kelamaan juga ambil cuti kuliahnya."

"Setidaknya ambil sedikit waktu lagi buat perayaan pernikahan kamu, biar kamu dan Arfa bisa memiliki waktu berdua," kata Abang lagi masih mencoba membujuk. Aku sedikit tersedak mendengar itu.

Entah, namanya saja sudah membuat ku kalang kabut, bagaimana tidak. Aku tidak berteriak yang bisa membangunkan satu komplek saja masih syukur, atas apa yang dia lakukan padaku sebelum pergi itu.

Yaa, walaupun memang hanya berkisar kurang lebih 2 detik, namun, efeknya sampai sekarang masih ku rasakan.

Entah apa yang akan aku katakan ketika kembali bertemu dengannya.

"Abang masih nyalahin Ara karena acara walimah yang dibatalkan?" tanya ku sedikit menyindir, jadi kesimpulannya aku hanya mengadakan akad nikah tanpa acara walimah yang sebenarnya sudah direncanakan.

Mungkin semuanya akan terjadi, jika saja, dia tidak memberikan surat itu tepat dihari pernikahan ku.

Abang terdiam, lalu menatap tepat kearah ku.

"Kamu itu punya iman, iman yang ada harusnya digunakan untuk mengntrol diri. Jangan biarkan bisikan setan itu mengalahkan iman mu."

"Cepat selesaikan, Abang tunggu di depan," kata Bang Ali beranjak keluar.

Kini aku yang terdiam.

Syetan sudah berhasil menguasai diriku, aku—aku tidak tau lagi harus berkata apa, yang pasti, lemahnya iman membuat seorang hamba hampir terbelok pada jalan yang salah.

Kebohongan kemarin misalnya.

Percayalah, suatu saat nanti semua orang pasti akan merasakan naik turunnya iman. Tapi aku berharap, disaat iman sedang turun, ada seseorang yang Allah hadirkan untuk membimbing kembali ke jalan-Nya.

°°°

"Abang jemput agak telat mungkin," kata Abang membuka sebagian helm full-facenya, aku hanya mengangguk, lalu meraih tangannya agar dapat ku cium.

"Abang...," kata ku lirih saat Bang Ali akan kembali menyalakan mesin motornya dan bersiap pergi.

"Kenapa?" tanyanya kembali membuka kaca helmnya.

"Ara udah minta maaf sama Pak Mugi atas kejadian kemarin, Ara tau Ara salah," aku disini menunduk pasrah, kesalahan ku terbilang cukup fatal kemarin. Dan sekarang, aku takut Abang yang masih kecewa atas perlakuan ku.

"Sini," kata Abang menggerakkan tangannya menyuruh ku agar lebih dekat.

Aku menurut lalu semakin memotong jarak.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang