Tiga puluh delapan

1.7K 187 23
                                    

Sedari tadi tak henti-hentinya aku  mengalihkan pandangan, mencoba menghindar dari mata hitam legam yang menatap ku tak henti.

"Ustadz udah deh!" kesal ku menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan ku.

Ustadz Arfa masih tersenyum dan terus memperhatikan ku, dia meraih tangan ku dan menggenggamnya. "Tidak berdosa kalau saya terus pandangi kamu sampai pagi, pun," alibinya, pipiku semakin merasa memanas. Apalagi dengan wajahnya yang hanya beberapa jengkal dari ku, ikut berbaring dan menatap ku lekat.

Jadi bagaimana sekarang aku bisa biasa-biasa saja?!?!

Semenjak kepulangannya yang tiba-tiba ustadz Arfa tak hentinya terus menatap ku, ya, awalnya ku kira Bi Minah kembali dan membawa ice cream yang sudah disajikan, nyatanya yang masuk adalah ustadz Arfa yang baru saja pulang, dan malah berdiri dibalik pintu memperhatikan ku.

Dan dia melihat semuanya, bahkan saat aku mendusel-duselkan wajah pada bantal karena saking badmoodnya.

Bayangkan betapa malunya aku?!?!

Ditambah, ini pertama kalinya dia melihat ku tanpa mengenakan jilbab, dan pertama kalinya pula bagiku membuka aurat pada lelaki selain Abi dan Abang.

"Kenapa ustadz bisa pulang semalam ini?" tanya ku selain penasaran tak lain dan tak bukan untuk menutupi rasa malu karena dia terus menatap ku tak henti-hentinya.

Dan ku harap, detak jantung ku juga tak terdengar olehnya, ini benar-benar membuatnya seakan hendak melompat keluar.

"Kamu cantik." aku kembali menahan napas dengan kalimatnya yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan ku.

Tubuh ku menegang saat dia mendaratkan kecupan di kening ku, cukup lama.

Astaghfirullah tolong, pipiku serasa terpanggang! Kenapa tiba-tiba udara disini menjadi hangat?!

Ustadz Arfa mengambil sebelah lengan ku, membawanya tepat pada atas matanya. Aku tak bisa lagi menahan senyum, jika sudah seperti ini pasti dirinya sudah ingin tertidur, dengan aku yang tidak akan pernah absen selalu memainkan alis tebalnya itu.

Perlahan ustadz Arfa memejamkan matanya, tangannya masih setia memeluk pinggang ku erat, guratan wajahnya, begitu jelas nampak, kalau dia sangat lelah. Walaupun bibirnya melengkung tipis, ustadz Arfa tidak bisa menyembunyikannya dari ku.

Biar ku beritahu, aku sudah pandai menebak bagaimana ketika dia berbohong. Huhu haruskah aku berterima kasih pada Mbak Nisa? Atau pada bakwan yang mempunyai cita rasa garam yang terlalu berani?

Entahlah.

Tangan ku berhenti bergerak, aku memandang sesaat wajah yang dulu bahkan sempat ku pikir dia oprasi pelastik dengan bungkus kiko, dingin namun ... Tampan.

Seulas senyuman kecil tercetak, saat aku kembali teringat bagaimana pertemuan pertama ku dengannya.

Tidur yang nyenyak buto ijo besandal coklat.

Aku semakin tak bisa berhenti tersenyum, kemudian menelusupkan wajah pada dada bidangnya, seperti biasa dia menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal untuk kepala ku, namun dengan gerakan yang berbeda malam ini, dia ... Mengelus mahkota hitam ku dengan lembut, tak ada lagi kain jilbab yang menghalanginya.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang