Tiga puluh enam

1.7K 172 6
                                    

Wajah ku tak henti-hentinya tersenyum, sesekali mata ku membulat takjub melihat atraksi yang luar biasa menurut ku.

Iya, saat ini aku sedang menonton Chef Juan yang sedang berakrobat dengan peralatan dapurnya, sesekali Chef Juan mengangkat wajan berisi makanannya dengan lihai bahkan sampai menyembulkan api yang cukup besar.

Wow.

Ini kali pertama aku melihat pertunjukan langsung seperti ini, karena sebelumnya hanya dari TV ataupun ponsel yang biasa menampilkan acara masak-masak.

Aku menoleh saat merasakan hawa dingin disebelah ku, suhunya seperti benua Antartika yang pindah tepat disamping ku. Lihat saja, wajahnya yang lurus dan tubuhnya yang bersandar didinding membuat kamu hampir keliru dengan kedataran yang sama.

Cih manusia tembok!

Astaghfirullah, kualat.

"Mau kamu merhatiin gimana pun cara masak Chef Juan, tetap aja Chef Juna mah bakal lepehin makanan!" aku mendelik sinis mendengar nyinyiran itu, dengan dia yang memeluk nampan kosong bediri menghampiri ku.

"Yeuu! Sotoy! Kalau Ara udah tetanggaan sama Chef Renata bisa apa kamu?!" kata ku membuat Aisyah memutar bola matanya malas.

"Begini ya Ibu Boss yang terhormat, saya cuma ingin memberi tahu, kalau suami Anda sedari tadi melihat seperti harimau yang akan menerkam!" kata Aisyah membuat ku kembali melirik pada ustadz Arfa. "Sering ngatain suaminya gak peka padahal sendirinya-mmmppp."

Aku langsung membungkam mulut Aisyah sebelum dia melanjutkan kalimatnya, "Syah gak mau aku jadiin bakso cincang kan?" kata ku tersenyum mengancam kearahnya.

Aisyah memukul tangan ku yang langsung terlepas, "He! KDRT! Aku laporin Kak Seto ya!" serunya membuat ku menghela napas lelah.

Chef Juan terdengar tertawa kecil melihat ku dan Aisyah. "Oya Chef Juan, apa Chef punya resep rahasia biar masakannya selalu enak?" tanya ku penasaran. Chef Juan yang sedang memasukkan bahan-bahan masakan ke wajan jadi menoleh kearah ku.

"Resep rahasia saya cuma garam, gula dan penyedap masakan, Bu," jawabannya terkekeh, ya bahkan Ibu rumah tangga dengan daster dan rambut dicepol tinggi-tinggi juga tau kalau itu kunci setiap masakan.

"Tuh dengerin, IBUUU!" ejek Aisyah tepat didepan wajah ku.

"Diem deh! Tau ya Chef, kemarin Chef Juan masih manggil Ara Mbak, sekarang Ibu?! Apa penuaan Ara secepat itu?!" gerutu ku kembali membuat Chef Juan menahan tawa.

"Waktu itu saya tidak tau kalau Ibu istri dari Pak Arfa, saya kira adiknya, hehe." aku ikut tersenyum melihat tawa Chef Juan yang seakan seperti virus yang mudah menyebar. "Lagipula Ibu juga memanggil saya dengan gelar, Chef. Padahal saya hanya tukang masak."

"Lah apa bedanya Chef?" tanya Aisyah menimpali. "Eh tapi kayanya gak bedanya deh, sama kaya Si Ara yang suka mellow sama cengeng!"

"Your eyes!" kesal ku yang langsung disambut tawa oleh Aisyah dan Chef Juan. "Yaudah kalau gitu, biar sama-sama impas, Chef Juan panggil Ara, Ara aja. Ara bakal manggil Chef Juan, Chef Juan. Adilkan?" tukas ku bersemangat.

"Ndoro mah bebas!" tandas Aisyah keras.

Chef Juan tertawa menyajikan makanan yang ku pesan tadi diatas piring saji. "Ya terserah Ibu saja, kalau saya panggil sayang pun, saya masih mencintai pekerjaan saya," canda Chef Juan mengangguk pada ustadz Arfa.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang