Dua puluh delapan

1.7K 165 15
                                    

Mengeluh mu tidak akan mengubah dunia, karena ujian datang sebagai bentuk kasih sayang dari-Nya.

~HBA~

❄❄❄




Ash-sholaatu khayrum minan-naum....

Allahu Akbar ... Allahu Akbar

Laa ilaaha illallah....

Suara adzan menggema masuk dengan syahdu ke telinga ku. Aku menggeliat kecil, sedikit meregangkan leher yang terasa sangat pegal.

Astaghfirullah,

Semalam aku tertidur di ruang kerja Abi. Dan, la Illaha illallah! aku melewatkan sholat malam.

Aku langsung mengucek kedua mataku, melepaskan setan yang terus bergelayut seakan ingin membuat mata ku terus terpejam, memang diwaktu subuh seperti ini setan semakin kuat menggoda, apalagi dengan dinginnya udara membuat siapapun ingin menarik selimutnya semakin tinggi.

Aku kembali menaruh foto Abi dan Ummi di meja kerja Abi, yang semalaman ku peluk, membayangkan bahwa itu bukan hanya sebuah figuran. Lalu kembali membereskan kursi yang semalam ku gunakan untuk tidur, aku tak mengira semalam aku bisa senyenyak itu dengan posisi tidur yang tidak cukup nyaman, menurut ku.

Tunggu,

Kenapa ada selimut di lantai?

Pasti Abang. Rasa kasihannya pasti terurung membangunkan ku, dan berujung pada leher ku yang sakit. Dan menjatuhkan selimutnya tanpa ku sadari.

Tak ku sangka, aku bisa pulas itu.

Aku segera mengambilnya, dan akan membawanya kekamar ku, lagipula siapa lagi dirumah ini yang menyukai warna putih selain benda milik ku?

Banyak yang mengira, kalau warna putih akan membuat noda begitu jelas terlihat. Jadi kebanyakan kurang menyukainya, mungkin. Seperti Abang contohnya, dia yang pernah mengatakan itu pada ku.

Menurutku, warna putih itu menggambarkan diri seseorang, dimana saat terlahir kita tidak tau apa yang akan terjadi, dan warna seperti apa yang akan tertuang diatasnya.

Sungguh, manusia memang pandai merencanakan, tapi Allah yang menentukan.

Tentang merencanakan, aku tidak tau apa yang harus aku lakukan ketika kembali berhadapan dengan ustadz Arfa.

Rasanya, hanya melihat bayangannya saja, aku tak berani menatapnya, rasa bersalah dan takut menemani ku hingga saat ini. Kaki ku terus melangkah menuju kamar, dengan pikiran mengawan tentang kemungkinan yang akan terjadi.

Lidah ku kelu, tubuhku mematung beberapa saat. Namun, detik berikutnya langsung aku berbalik mengalihkan pandangan.

"Mbak mau jama'ah sama Ara gak?!" teriak ku melihat Mbak Sabil yang berada di lantai bawah.

Tentu saja itu hanya pengalihan untuk menetralkan degupan jantung ku.

Bagaimana tidak, aku melihat ustadz Arfa bertelanjang dada dengan tangan yang mencoba memakai baju kokonya.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang