Empat puluh delapan

1.6K 186 54
                                    

"Arfa dan Mbak Nisa adalah calon pengantin. Mereka hampir menikah dengan persiapan yang udah matang." wanita itu memandang lurus dengan bibinya yang melengkung tipis

"Kata Ayah, Arfa harus mengurus pesantren yang Ayah buat. Tapi dengan syarat harus menikahi Mbak Nisa. Karena Ayah Mbak Nisa adalah sahabat karib sekaligus orang yang membantu Ayah mendirikan pesantren."

"Gue tau, Arfa sebenarnya pengen nolak. Tapi terlalu sungkan karena itu permintaan langsung dari Ayah."

"Tapi hari itu ... Hari dimana Ayah pergi. Semua rencana itu terlupakan gitu aja. Gue gak tau gimana kelanjutan ceritanya sampai Arfa nikahin lo dan berakhir sama Mbak Nisa. Semenjak hari itu, gue gak mau tau apapun yang nyangkut dengan dia."

"Sorry, ya. Gue lepas kendali malam itu."

Aku mengusap wajah kasar, menarik napas panjang. Mata ku terpaku keatas langit dengan bulan yang bersinar terang malam ini.

Tapi, pikiran ku ... Otak ku terus berputar mengulang setiap kata yang dia lontarkan siang tadi padaku.

Ya, dia Arina. Yang ternyata adalah adik kandung dari ustadz Arfa.

Arina berada tepat disebelah ku, saat trauma akan kecelakaan Abi dan Ummi saat hujan mulai menyapa. Dia yang menempelkan earphonenya tepat ditelinga ku. Sehingga membuat ku tak bisa mendengar buliran air hujan yang jatuh. Namun alunan musik yang menggema memenuhi indra pendengaran ku.

Anehnya, perlahan rasa takut itu mulai hilang.

Walaupun aku jadi teringat, saat Gibran melakukan hal yang sama. Menutup kepala ku dengan jaket miliknya dengan kedua telinga yang dia tutup.

Dan disinilah aku sekarang, diatas rooftop, sendirian, dengan berbagai pikiran yang semakin memenuhi isi kepala ku.

Berkali-kali aku mencoba untuk menghapus dan menghilangkan pikiran itu, untuk apa?

Ustadz Arfa kembali memutuskan akan menikahi Mbak Nisa bukan?

Aku menunduk, memeluk kedua lutut ku sendiri dengan helaan napas. Rasa sesak dengan sakitnya dada ku mulai semakin rutin mengganggu ku kini.

"Kapan kamu berhenti bersikap egois?" aku terperanjat kaget, kepala ku langsung menoleh kearah sumber suara. Tepat dibelakang ku. Mata ku membulat, jantung ku kembali berpacu lebih cepat.



"A ... Abang?"


"Seneng bisa buat semua orang kelimpungan?" tanya Abang lagi, aku mengatupkan bibir memandangnya tak percaya. Wajahnya terlihat kusut dengan keringat yang memenuhi dahinya. Abang menatap ku lekat. "Abang pikir kamu sudah dewasa, Dek. Sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah?"

"Bang, Ar ... Ara—"

"Apa? Masih mau membela diri? Kamu sudah besar. Berhenti menjadi anak kecil yang selalu membutuhkan Abi. Apa seperti ini cara kamu menyelesaikan masalah? Abang, kecewa sama kamu, Dek."

Rasanya jantung ku berhenti berdetak saat Abang mengatakan itu tepat dengan tatapannya penuh kekecewaan memandang ku.

Tak kuasa aku menahan tangisan, bahu ku meluruh seketika ingin mengatakan semua pada Abang, namun otak dan mulut ku menolak semuanya.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang