Empat Belas

1.8K 172 3
                                    

Ada beberapa kecemasan yang tidak dapat ku jelaskan, termasuk saat beranggapan bahwa perginya adalah sesuatu yang ku inginkan.

~Rihanna Zahratusyita~

❄❄❄



Pagi yang cerah telah tiba. Aku sudah bersiap dengan tujuan sebenarnya datang ke tempat ini. Setelah sarapan, aku menghirup sebentar udara segar diatas balkon dengan pemandangan kolam renang yang tersaji didepan mata.

"Sudah siap?" tanya ustadz Arfa. Aku mengangguk mengiyakan.

Jika ditanya, sebenarnya aku agak canggung dengannya. Apalagi dengan kejadian kemarin yang membuat ku tak dapat berkata-kata.

Dan aku, hanya diam untuk jawabannya.

Tak ingin kembali mengingat hal yang akan membuat ku semakin canggung, aku langsung beranjak untuk mendahuluinya terlebih dahulu.

"Oya Dek, ponsel saya lupa saya charger semalam. Alamat Dea sudah kamu save kan?" tanya ustadz Arfa membuat ku kembali menoleh dan menyerahkan ponselku begitu saja.

Ya bagaimana baterainya tidak habis, hampir seharian dipakai untuk GPS lalu malamnya ustadz Arfa terus memakai ponselnya seperti mengerjakan suatu hal yang ku yakinin sebagai kerjaannya. Beberapa kali ku dengar tentang email, dokumen, proposal dan hal lainnya yang berhubungan dengan bisnis.

Aku baru tau, pengajar di pesantren bisa sesibuk itu?

"Dek tunggu dulu," cegah ustadz Arfa saat aku sudah berada diambang pintu

"Apalagi sih ustadz," kata ku sedikit geram dengan ustadz Arfa yang menahan.

"Saya gak akan pergi, ganti kaos kaki kamu sekarang," katanya malah duduk disofa.

"Kenapa?"

"Itu terlalu pendek untuk menutup aurat, Rihanna." aku memandang kaki ku sendiri dengan sedikit terheran.

"Pendek apanya, kaki Ara udah ketutup gini. Ini cuma modelnya aja yang agak minimalis," elak ku tak mau repot kembali melepas sepatu dan memakainya lagi.

"Syaidatina Khadijah memakai baju dengan banyak tambalan kan dek?" tanyanya dengan kata lain bermaksud menyindir ku.

"Iya Ara tau. Tapi ini masih tidak melanggar syariat ustadz, tidak lihat kaki Ara sudah tertutup begini?" kata ku masih mengelak.

"Coba kamu berjalan, pergelangan kaki kamu terlihat," katanya membuat ku langsung melangkah dengan pandangan terfokus pada kaki ku.

Astaghfirullah, benar saja. Saat aku berjalan pergelangan kakiku terekspos sempurna.

Ya Allah maafkan Ara, ini bukan salah Abi.

Aku merutuki diri sendiri, dan langsung berjalan mengambil kaus kaki yang baru dengan ukuran yang menjamin untuk menutup aurat ku.

Pernah mendengar tentang dosa seorang Ayah dan Kaka laki-laki yang datang tanpa mereka melakukan kesalahan apapun? Aku pernah mendengar, kalau itu berasal dari anak atau adiknya yang tidak mau menutup aurat. Karena itu mereka yang menanggungnya. Beda lagi dengan sudah menikah, si suami juga akan ikut bertanggung jawab.

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang