Lima puluh

2K 177 61
                                    

Pria dengan beberapa buku ditangannya berjalan dengan santai. Sesekali matanya mengedar, melihat ke sekeliling.

Nampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang terlihat. Mungkin juga karena sibuk menyiapkan acara festival tahunan yang biasa diadakan, atau mungkin mengejar materi yang tertinggal, dikelasnya masing-masing.

Tangannya tertahan saat akan membuka pintu kelas, terdengar ricuh gaduh didalam.

"Assalamu'alaikum," ucapnya membuat seisi kelas langsung terpogoh-pogoh pada tempat duduknya masing-masing. Keadaan berisik tadi, seketika menjadi hening.

Walaupun, ada saja beberapa wajah tak rela ketika dirinya masuk.

Ya, Arfa Zain Malik, jenis Guru yang selalu masuk ketika kelas lain jamkos. Jenis Guru yang pastinya selalu mendapatkan gerutuan kesal dari muridnya.

Hm, tentu saja. Jamkos adalah surga dunia yang diimpikan setiap pelajar. Mungkin.

"Afwan, ustadz. Kita 'kan akan mempersiapkan festival untuk minggu depan. Masa ustadz tetap masuk sih?" tanya salah satu santri wati yang mungkin mewakili seluruh teman sekelasnya.

Arfa menaruh bukunya dimeja guru, lalu melirik setiap muridnya satu-persatu.

"Sejak kapan jawaban salam diganti dengan keluhan?" tanya Arfa membuat semua muridnya saling pandang dan menunduk.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka serempak, namun dengan raut wajah yang sedikit tertekuk.

"Masih ingat sebuah hadis yang mengatakan jika seseorang lelah dalam belajar? Apa yang akan terjadi?" pancing Arfa, walaupun tak suka mereka tetap menyahuti Arfa.

"Akan menanggung perihnya kebodohan," jawab mereka pasrah.

Arfa kembali memperhatikan setiap muridnya, tentu saja ingin merasakan bebas dari pelajaran adalah yang mereka impikan. Tidak terkecuali juga dengan Arfa, tubuhnya juga lelah, lebih remuk dari sekedar belajar seperti muridnya.

Sedari malam dia begadang, mempersiapkan ini dan itu untuk festival para santri. Lalu pagi harinya harus dilanjut dengan mengajar. Arfa hanya tidak ingin, jika kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas keluhannya dan meninggalkan kewajibannya mengajar.

"Semuanya berdiri," titah Arfa yang langsung diikuti semua muridnya. "Hitung satu sampai sepuluh lalu beristighfar." Arfa masih berusaha menghilangkan kekesalan dan rasa malas setiap muridnya. Berharap cara yang dia berikan bisa mengatasinya.

"Satu, dua, tiga, empat, lima..., " mata Arfa kembali menelisik, dia menemukan wajah yang cukup asing. Sudah dipastikan dia adalah murid pindahan yang baru kali ini dia lihat. Lalu matanya menangkap hal lainnya yang juga menyita perhatiannya sesaat. "Astaghfirullahalazim...." mereka mengakhiri intrusi dari Arfa. Walaupun tidak bisa dibohongi, rata-rata wajah setiap muridnya tidak sekesal beberapa waktu lalu.

"Baik kita mulai pelajarannya," Arfa membuka halaman bukunya, mencari materi yang akan disampaikan. "Tajlisu!"(¹)

"Ha? Iblis? Apa bisu?" celetuk dengan suara nyaring itu berhasil membuat Arfa kembali melirik. Si anak baru rupanya.

"Duduk," titah Arfa. Wajahnya yang tegas dingin itu seolah mengisyaratkan kalau Arfa adalah Guru yang killer. Padahal dia 'pun tidak pernah meminta bentukan wajah seperti itu. "Shabahul khair...."(² )lanjutnya seperti biasa selalu mengawalinya dengan sapaan

Hanyalah bukan Adalah (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang