2. Serpihan Kaca.

656 56 5
                                    


Seperti biasanya, tiada hari tanpa keributan, rumah besar berlantai dua, memiliki interior yang cukup bqgus.

"Bun, tas sekolah Fahira mana?" panggilan melengking milik gadis yang akan menginjakan kaki di bangku SMA.

"Di lemari Fah, Bunda udah rapihin di lemari, Sayang. Coba cari lagi," sahur Meri, Sang Bunda.

"Ih, ngga ada Bun, Bantuin dong." Keluhnya.

Fahira mendengus sebal, keiika dia mendapati Bundanya sedang sibuk membantu adik bungsunya. Dia geram dengan anak itu. Di tatapnya sinis tanpa berkedip sedikit pun.

"Bunda sibuk terus sama dia, kapan perhatiin aku sih? Aku benci, aku benci!" Kesalnya, dia berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya, sedangkan Eros, yang baru saja keluar dari kamarnya, menatap adik perempuannya heran. Cowok itu tidak peduli apa yang terjadi, tapi dia juga tidak bisa melihat adik-adiknya bertengkar.

Eros mencoba untuk melihat keadaan adik perempuannya, tapi sayang, gadis itu mengunci pintu kamarnya. Eros pun hanya bisa mengusap wajahnya, bingung dan heran, akhirnya Eros memilih untuk pergi, dan menuruni anak tangga untuk sampai kelantai dasar.

"Er, kamu sudah rapi, sarapan dulu Kak," sapa Fernan, Sang Ayah.
Eros mengulas senyumnya, lalu mengangguk. Tapi, sebelum Eros akan sarapan, ia terlebih dulu melihat keadaan adik bungsunya. Dia melangkah mendekati kamar Luiz, adik kecilnya.

"Lho, kamu sudah sarapan, Nak?" tanya Meri, yang baru selesai membantu Luiz. Eros menggeleng. Tak banyak kata yang Eros utarakan, karena cowok itu tipe yang pemalu dan sedikit cuek, wajahnya yang tampan membuatnya menjadi prima dona di sekolahnya.

"Luiz sudah usai?" tanyanya.

"Sudah, masuk gih, dia baru aj selesai bersiap." jawab Meri.

"Makasih Bun," kata Eros, lalu ia melangkah masuk ke dalam kamar adiknya, yang selalu beraroma mint itu.

"Tok, Tok," ucap Eros, yang sudah berdiri di belakang adiknya, yang sedang duduk di atas kasur. Anak itu menoleh, wajahnya cerah, memancarkan senyumnya yang manis.

"Sarapan yuk?" tawar Eros, anak itu masih diam di tempatnya.

"Luiz?" panggil Eros, ketika ia sudah berada di sebelah adiknya, dia memegang telapak tangan adiknya yang terasa bergetar.

"Dingin ya?" tanya Eros lagi. Tetap tidak ada sahutan di sana.  Eros kembali mengusap telapak tangan adiknya, ia meniup  memberikan kehangatan di sana.

"Kak Eros mau sekolah, Luiz di rumah, belajar yang rajin ya, nanti Kak Eros beliin mainan baru, mau?" ucap Eros, Luiz menoleh melihat Kakaknya yang masih mengulas senyumnya.

"Ka-k, Er-os, se-ko-lah, ya." balas anak itu terbata, Eros mengangguk, lalu mengusap rambut hitam adiknya.

"Yuk, sarapan bareng, Kak Eros mau lihat Luiz makan sendiri, sudah pandai, kan?" kata Eros hati-hati, tapi di luar dugaan, anak itu mengangguk mantap, ia berdiri sambil tersenyum, menatapa Eros yang masih duduk terkejut.

"Pintar, yuk." ucap Eros, lalu ia menggenggam tangan adiknya, dan melangkah keluar bersama-sama.

Sementara di meja makan, di sana sudah ada Fahira, dengan wajah lusuhnya, tak pernah menampak,kan, senyumnya pada adiknya.

"Sini, duduk," ucap Eros, yang menarik satu kursi dekat Fahira, agar bisa Luiz duduk-ki.

Anak itu tersenyum, wajahnya yang manis tak pernah melepaskan senyumnya meski sebentar.

"Bun, selai cokelat tolong ambilin." ucap Eros, yang sudah duduk tepat di sebelah Luiz.

Meri, Sang Bunda hanya tersenyum melihat ketiga anaknya yang kini duduk salling bersebelahan, dengan Luiz di tengahnya. Keheningan di meja makan tidak akan pernah bertahan lama, kalau tidak ada keributan meski itu hal kecil.

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang