50. Terima Kasih

524 29 10
                                    

Malam yang dingin terkadang rindu menerpa. Cinta yang hilang masih bisa di cari dengan yang lebih setia dan mau menerima apa adanya, bukan dengan ada apanya.

Rindu?

Kata orang rindu itu berat, tapi buat Eros rindu itu indah. Indah mengenang betapa ia bersyukur sempat memiliki seorang adik yang unik, lucu, kadang menyebalkan. Dia juga berpikir akan membangun masa depan bersama, hanya berdua. Pernikahan untuk Eros adalah sebuah hal yang sakral, kalau pasangannya mau menerima keadaan adiknya, maka ia akan mau menerimanya. Tapi, semuanya sudah menjadi butiran kenangan cantik yang perpajang indah di dalam memori kecilnya.

Akhir? Tidak, ini bukan akhir dari segalanya. Ini adalah awal baru bagi orang yang di tinggalkan. Dia bilang sedih karena ditinggal kekasih itu biasa dan masih bisa mencari yang baru. Astaga. Eros, kah itu? Tidak jangan berpikir kalau pria itu akan mengatakannya.

Bahkan, kata-kata yang menggelitik itu datang dari Lintang, entah apa yang membuatnya menjadi sosok periang kembali, setelah kelihangan, yang pasti waktu lalu telah menyadarkan beberapa manusia egois.

Namun...

Tepat di sebuah rumah sakit besar di Jakarta, di sanalah Luiz berada, dalam diam tampa kata. Ketegangan itu menimpa keluarga Fernando, dari mulai Meri, lalu di susul oleh Luiz.

sedih, kesal, kecewa, semua itu menjadi satu. Rahasia besar yang selama ini dipendam sendiri oleh Fahira juga terungkap. Gadis yang dipikir jahat, ternyata ia tak ingin semuanya tahu, betapa lemahnya dia. Dia rela berbong hanya untuk menuutupi rasa sakitnya. Dia tega tapi selalu di lakukannya. Meski salah, tapi semua itu hanya tinggal untaian kata dan penyesalan, bahkan sampai kapanpun tak akan pernah habis untuk memikirkannya.

Kala itu, saat di mana Lintang berkunjung menemui Luiz, ada rasa getar dan khawatir, jika ia harus melihat sepupunya tak mau bangun lagi.

Ternyata dugaannya salah, Tuhan berkehendak lain, Tuhan masih memberikan kesempatan indah itu untuknya. Awalnya ragu untuk sekedar menyapa, tapi ia lalui, di genggamnya jemari kurus itu sambil diusap perlahan punggung tangannya. Nyaman. Itulah yang di rasakan keduanya.

Sampai pergerakan kecil saja tak terasa, Lintang baru menyadari kau genggamannya terbalas meski lemah.

"Ay-ah." satu kata yang keluar dari mulut Luiz. Pelan dan nyaris tak terdengar. Namun, tak ingin memnbuang waktu lebih banyak, Lintang mencoba untuk mendekatkan wajahnya, ditatapnya wajah pucat itu. Mata panda yang masih terpejam, tak sepenuhnya terbuka.

"Ada apa Lui?" tanya Lintang.
Ada seutas senyum tipis yang menerka di wajah pucat itu, mata panda itu sedikit membukanya agak lebar, mencoba menangkap cahaya lampu, lalu ia berkedip perlahan.

"Ada apa, hm?" tanya Lintang lagi, baru lah Luiz sadar, ia menoleh perlahan menemukan Lintang yang sudah berada di sebelahnya. Raut wajahnya berubah murung, matanya yang semula terbuka, kini menyipit, cairan bening itu terjun tanpa izin dari sudut matanya.

"Lho, malah nangis, aneh nih." seru Lintang.

"Ter-im-a, ka-sih, beri-kan, mi-lik, Luiz, un-tuk, ka-kak." Lintang membelalak, mendengar penuturan Luiz. Untuk kali pertamanya ia berbicara panjang. Sempat tak percaya dan masih menerka apa yang Luiz maksud, Lintang menyadari bahwa ucapannya beberapa waktu lalu, Luiz telah mendengarnya.

"Kamu mendengarkan ucapanku kemarin?" tanyanya menyakinkan. Hanya satu kedipan yang menandakan sebagai jawaban Luiz.

"Bodoh, kenapa aku tidak menyadari itu." gumamnya pelan. Ada seringai kecil dari wajah Luiz, namun, seketika hilangagi.

Belum sempat Lintang bicara banyak, anak itu mulai melemah, tim dokter pun segera masuk, di susul oleh Kania, wanita paru baya itu mencoba menenangkan cucunya.

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang