26. Patah.

233 29 12
                                    

Panas menerpa kota indah Indonesia, ya Jakarta. Malam riuh dengan gemuh hujan lebat. Sudah 2 hari Luiz menginap di rumah sakit, anak itu enggan untuk kembali ke rumah. Ia takut, ia tak ingin Ayah dan Bundanya bertengkar hanya karena kehadiran dirinya.

"Lu-iz, in-gi-n, da-ns-a." katanya terbata, pandangannya tertuju keluar jendela. Anak itu berdiri tepat menghadap luar jendela. Terlihat dari atas jendela sebuah pemandangan indah di taman rumah sakit.

Anak itu terus memandangnya, matanya benar-benar enggan untuk mengerjap, sampai setetes air mata itu kembali lolos.

"Lui? Don't cry." satu usapan lembut, yang mengenai pipinya membuat anak itu menoleh,  dia diam, dia membiarkan air matanya mengalir bebas membasahi wajahnya.

"Lui, dengar, ini hanya sebentar, kamu pasti bisa." ucapan itu membuat Luiz menatapnya, anak itu berpikir sejenak.

"Jangan sedih, aku akan membantu mu Lui, percayalah." katanya lagi. Luiz masih diam, dia terus memandangi sosok yang ada di depannya.

Anak itu membawa salah satu jemari Luiz, diletakannya jari itu di bibir mungilnya. sosok didepannya tersenyum.

"Aku selalu berdiri dibelakangmu, jika kamu sedih, aku yang ada untukmu. Bukan-kah aku kakak mu? " katanya, Luiz menatap lekat mata itu, mata yang menyipit ketika tersenyum dan tertawa.

"Ingatlah, aku tak akan membuatmu bersedih, jika aku melakukan itu, aku akan menghukum diriku, karena kamu inspirasiku, kamu seperti bintang untukku." katanya. Matanya sudah terasa panas, Luiz memeluk sosok itu, sosok yang datang atas perintah hatinya sendiri.

"Ka-k, Li-n." hanya itu, suara terbata itu mememluk Lintang, detik itu juga  air matanya pecah kembali.

"Jangan menangis, aku akan bersama denganmu, kita akan berlatih bersama," ucap Lintang, ia melepaskan pelukan Luiz, diusapnya wajah anak itu, lalu ia genggam tanggannya.

"Lho, Lin kamu sama siapa ke sini?" Sapa Meri, wanita itu masuk tiba-tiba, sampai membuat kedua anak remaja itu menoleh.

"Tante, Lin sama Papi dan Momi,  Lin pindah ke sekolah yang ada di Jakarta, Lin juga tinggal bareng Om Riel dan Oma.  Soalnya Om Zy tugasnya lama, Papi juga mau keluar negeri sama Momi, biasalah sibuk." jelas Lintang. Meri mengangguk.

Meri sedikit lega, Lintang ada di sini setidaknya ia tidak lagi melihat wajah kusut Luiz, ada seulas senyum tipis di sana.

"Yaudah, kamu istirahat gih, Tante baru aja selesain administrasi, nanti sore kita pulang ke rumah Oma." kaya Meri. Sedang,kan, Luiz, anak itu kembali terdiam. Dia benar-benar lelah dengan drama keluarganya.

"Lho, kok ngga balik ke rumah sih, Tan?" heran Lintang.

"Aileen Lintang Nicholas, dengar ini, jangan ingatkan rumah dan semuanya,  Tante harap kamu mau membantu sepupumu," pinta Meri, Lintang mengangguk.

"Oke, kalau begitu aku bungkam, hehe, oiya Papi dan Momi, tadi nitip sesuatu buat Tante," kata Lintang, anak remaja itu memberikan sebuah amplop cokelat yang berruliskan  Merriatama Fernando.

"Apa ini Lin?" tanya Meri, Lintang mengangkat kedua bahunya, tak tahu.

"Kata Momi dan Papi bukanya nanti saja, kalau sudah di rumah." sahut Lintang. Meri pun segera memasukan amplop itu, lalu duduk di kursi dekat brankar.

"Luiz minum obat dulu,Nak." kata Meri, Luiz diam, dia enggan untuk mendekat pada Meri.

"Luiz?" panggil Meri lagi. Lalu, wanita itu bangkit mendekati putranya, sayangnya Luiz menghindar. Anak itu melangkah mundur, membuat Meri tak oercaya.

"Bu-n-da, pe-rgi, Lu-iz, se-di-h." katanya, anak itu menunduk kedua tangannya mengepal. Wajahnya kembali memerah,

"Bu-n-da, pe-rgi." katanya lagi, tapi Meri tetap tidak mau pergi. Meri tetap berusaha meraih putranya, tapi Luiz menepisnya begitu saja. Untuk pertama kalinya Luiz menolak sentuhan lembut Meri.

"Luiz, ada apa, Sayang?" tanya Meri, Luiz diam, matanya menatap tajam, tak ada senyum atau sorot yang lembut dari sana. Ia marah?

"Luiz?" panggil Meri lagi.

"Ay-ah, da-n, Bu-n-da, ja-ha-t." Kalimat yang berhasil lolos dan mengenai hati Meri. Mata wanita memanas, terlihat jelas disana cairan bening yang sudah siap ia keluarkan.

"Lui, jangan begini, Bunda kamu baik," kata Lintang pelan, anak itu mendekati sepupunya, ia memegang bahunya lalu diusapnya.

"Duduk lah," ucap Lintang, Luiz enggan menurut, anak laki-laki itu diam. Lintang yang ada di sebelahnya hanya bisa membuang napas, melihat sikap dingin sepupunya yang tak biasa.

"Lintang pulang aja dulu ya, tadi Om Ariel bilang udah di parkiran, biar tante yang bicara sama Luiz." pinta Meri, mau tidak mau, Lintang mengangguk, lalu pergi usai berpamitan pada Tantenya, adik dari Ayahnya.

Setelah di rasa Lintang telah pergi, barulah Meri kembali membujuk Luiz, tetap saja Luiz tidak mau ia drkati.

"Luiz, Bunda salah apa sama Luiz? Jangan kaya gini, Sayang, Bunda cemas, Bunda ngga bisa lihat kamu menangis." katanya. Luiz tetap diam.

"Luiz, tolong jangan diami Bunda, Nak." ucap Meri lirih.

"Aku yang harusnya bilang kenapa Bunda melakukan ini? Jika kelahiranku membawa beban, untuk apa aku dihadirkan?"

Tepat saat batinnya bersuara, air mata anak itu meluncur. Kepalan tangannya melemas, anak itu menunduk, mata pandanya meredup. Dia diam dalam tangisnya.

"Anak kaya gitu, masih di kasihani?"

Tidak ada yang menyadari kedatangan sosok gadis cantik yang hanya berdiam diri di ambang pintu, dengan kedua tangannya dilipat didepan dada.

"Fahira? Kamu datang dari kapan?" kejut Meri, wanita itu melangkah maju mendekati putrinya.

"Untuk apa Bunda harus tahu? Toh keberadaanku tak ada artinya, aku datang atau tidak, Bunda ngga khawatir, kan?" tutur Fahira. Gadis itu semakin menjadi-jadi. Ucapannya semakin tajam.  Tanpa permisi, gadis itu melangkah masuk, ia mendekat kearah adiknya, di lihatnya anak remaja itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Fahira tersenyum sinis padanya.

"Bagus deh, setidaknya kamu ngga merepotkan aku,  ingat ya, kamu hanya belenggu, jadi jangan banyak tingkah." ucap Fahira pelan. Gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya, lalu ia berbisik tepat di sebelah telinga adiknya.

"Kamu pantas mendapat penolakan, karena kamu memang tidak diharapkan sama Ayah. Jadi, lebih baik pergi yang  jauh." ucap Fahira, dengan sangat terkejut mata itu membulat, tubuhnya menajdi kaku, seketika  aliran darahnya terhenti.

"Satu lagi, jangan pernh berpikir Ayah senang ada kamu, dia hanya berpura-pura. Pergilah, jangan kembali." usai mengucapkan kalimat terakhirnya, Fahira pergi begitu saja, melihat Meri sekilas, lalu melanjutkan  langkahnya.

"Luiz? Kak Fah bilang apa, Nak?" tanya Meri, wanita itu kelihatan cemas, ia berdiri tepat di depan putranya, lalu memegang tubuh kaku itu.

"Lu-" ucapannya terhenti, lagi-lagi wanita itu mendapat penolakan, anak lelakinya menghindari dirinya.

"Apa aku serendah itu? Bahkan Ayahku juga sama?"

"Apa aku serendah itu? Bahkan Ayahku juga sama?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Taraaaaa udah up nih, ramein ya, 😁😁😁

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang