9. Kunjungan Mata Panda.

317 41 6
                                    

Sore kemarin adalah sore yang ajaib,  di satu sisi Eros, juga mendapat teman dan tetangga baru. Di hari sabtu seperti sekarang, Eros selalu menyempatkan diri untuk berjoging.

"Ka-ka?" Panggil Luiz terbata. Seperti biasa, anak itu sudah bangun lebih awal.

"Eh, udah bangun, kamu mau sarapan? Bunda sama Ayah belum datang." kata Eros.

Lama Luiz menjawab, ia menatap Kakaknya dengan tatapan datarnya.

"Ada apa ? Kak Eros ganteng ya?" Dengan percaya diri Eros mengatakan itu, bukan suatu hal yang aneh, bahkan Fahira saja akan bilang, kakaknya adalah manusia PD sepanjang masa.

Terdengar kikikan lembut dari  sosok yang masih berdiri di depannya, Luiz tertawa?

"Eh kok diketawain, Kak Eros, kan, emang ganteng. Ih Luiz, ngeledek nih? Awas ya," ucap Eros, iya menggerakan kesepuluh jarinya, lalu melangkah mendekati Luiz, anak itu mundur teratur kebelakang, matanya selalu dingin, tapi saat itu manik matanya terlihat cerah. Menandakan hatinya sedang baik-baik saja.

"Kena, kan. Ayooo mau ke mana sekarang? Um?" sahut Eros, yang sudah memeluk adiknya, dia mengkelitiki Luiz. Tuhan memang adil, anak itu tertawa sampai terpingkal, dia masih dalam perangkap Eros, yang terus saja mengkelitikinya. Meski bibirnya tak bicara, batinnya mengatakan sesuatu.

"Geli, Kak, hahah..." setidaknya ada respon baik yang diperlihatkan oleh Luiz.

Anak itu menatap Eros, ada sedikit senyum di sudut bibirnya, matanya cerah. Dia seperti hidup dalam dunianya lagi, tidak seperti kemarin, yang selalu sendu dalam ruang mata pandanya.

"Luiz sudah siap belum, Nak?" suara merdu itu terdengar sampai telinga Eros, yang baru saja melepaskan perangkap untuk adiknya.

"Ya ampun, Bun, mau kemana ? Ini masih pagi, lho." serkah Eros.

"Tahu ngga, Er. Tetangga kita yang baru itu, tahunya teman SMA Bunda, ih, Bunda mau ke sana, sekalian silaturahim, kan, sudah lam." cerocos Meri. Yang sudah siap dengan sekotak kue buatannya.

"Bun, aku ikut." sambar Fahira. Gadis itu tiba-tiba saja mengelayutkan tangannya di leher Bundanya.

"Tumben? Bisanya Bunda ajak, suka ngga mau," balas Meri, gadis itu hanya memberi senyum tipisnya.

Berbeda dengan Luiz, anak itu masih tetap diam di tempatnya. Dia menunduk, kali ini ia memeluk boneka pink berbentuk pig itu.

Fahira yang menyadari itu langsung merebut dengan kasar, membuat si pemilik barang menatap sendu. Anak itu diam, ketika Eros menyentuh bahunya, untuk kali pertamanya anak itu menghindar. Dia marah?

"Luiz?" panggilan itu menggema tepat di hadapannya. Mata Eros menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Fahira?!" bentak Meri. Kali ini Bundanya benar-benar kesal, dengan tingkah laku putrinya.

"Kenapa? Bunda mau pukul aku?SILAKAN!" pekik gadis itu.

Matanya memerah, cairan bening itu  di tahannya, Luiz melangkah mundur, tak tahan melihat situasi panas, yang hampir setiap hari.

"Luiz? Why?" pekik Eros, yang mulai melangkah mendekat. Tidak, Luiz tidak sebodoh itu, kan? Anak itu benar-benar keluar dari rumah, langkahnya cepat, pipinya sudah dibasahi oleh cairan bening yang di tahannya.

Dia rapuh?

"Luiz! Come back!" teriak Eros, laki-laki itu berlari mebyusul adiknya yang sudah berhasil melewati pintu pagar yang terbuka.

"Luiz! Kembali Luiz!" teriak Eros lagi.

Laki-laki itu berlari tapi sayang, adiknya jauh lebih cepat dibandingkan dugaannya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, kehilabgan jejak adiknya.

"Astaga! Luiz. Gimana aku bilang ke Ayah, tentang kejadian pagi ini, sedang,kan ayah akan pulang besok. Astaga!" gumamnya gusar.

Sedangkan di dalam rumah, kemarahan Meri, sudah tidak bisa di bendungnya. Ia menampar pedas pipi putrinya. Ucapannya sudah kelewat batas.  Air mata Meri pun mengalir deras di sela ucapannya.

"Bunda sama Ayah, ngga pernah adil! Kenapa anak idiot itu yang terus kalian perhatikan, kalian itu orang tua macam apa sih? Aku ? Aku ini siapa ? Anak angkat atau anak kandung kalian? Huh?! Jawab Bun, Jawab!"

Teriakan itu masih terngiang  didalam pikiran Meri. Meri berdiri gemetar, ia melangkah mendekati sofa, tapi sial, lututunya menyentuh lantai terlebih dulu, dia tak kuasa mereka ulang kejadian yang baru saja ia lakukan.

Menampar putrinya bukanlah hal baik untuknya nanti, tapi dia benar-benar geram dengan sikap egois putrinya.

"Bunda, Ayah, dan Eros, ngga pernah mengajari kamu sekurang ajar ini Fahira Fernando! Kamu lahir di rahim Bunda. Rahim Bunda, Merria Fernando! Ibu yang membesarkan kamu, tapi apa balasan kamu? Ini kah yang mau kamu tunjuk, kan? Melukai, hati seseorang lalu pergi tanpa dosa? Begini mau kamu? Hah!"

Kalimat panjang, yang menusuk, mungkin tidak banyak yang terlontar, itu hanya kekesalan kecil yang di luapkan seorang ibu.

Harusnya itu dapat membuka sedikit pikiran seorang Fahira, dia harusnya bisa menyayangi adiknya, bukan malah menjadikan adiknya sebagai musuh, perlahan akan membunuhnya?

. . .

"Luiz? Kamu sama siapa?"

Anak itu diam, dia menangis, jemarinya terus di mainkannya. Dia ketakutan.

"Lho, Luiz, yaudah sini yuk, ya ampun, kakak kamu ke mana?" tanya Eri, gadis remaja seusia Eros. Ya  kini Luiz berada di dekat pekarangan rumahnya. Eros terlambat mendekat, adiknya lari begitu cepat padahal dia ada dekat dengannya.

Hanya selisih 2 rumah, dari rumahnya. Kini Luiz benar-benar enggan untuk pulang, tangannya gemetar dan dingin, itu dapat di rasakan oleh Eri.

"Luiz mau susu hangat? Kak Eri buatin, mau?" tawar Eri, tetap tidak ada respon. Mata pandanya terus saja melihat kebawah. Rasanya kata-kata dalam otaknya tidak lagi bekerja, anak itu hanya mampu mencerna sedikit dengan kata lain, dia mengerti tapi tak mampu berbicara. Mungkin.

Eri mendengus pasrah, karena adik temannya memang berbeda, dia begitu aneh, atau bahkan terlalu ajaib? Entahlah.

"Kak, itu siapa?" teguran nyaring itu membuat Eri, terkejut mendapati adiknya seusia Luiz, tiba-tiba muncul.

"Sini Rel, kenalin, namanya Luiz." ucap Eri. Dengan antusias Karel mendekat dan duduk di sebelah Luiz.  Luiz yang merasa ada sesuatu, dia menoleh ke sisi kanannya, di lihatnya senyum manis seorang Karel.

"Aku Karel, kamu siapa?" sapa Karel, gadis itu mengulurkan tangannya, seperti biasa, Luiz tidak akan merespon cepat, dia akan berpikir lebih lama, dari anak normal lainnya.

"Lu-iz," katanya terbata.

"Oooouh, nama kamu bagus, kita teman?" langsung ajak anak itu, dengan begitu senang, kedua nya saling melempar senyum. Meski batin itu selalu menangis. Tapi, saat ini Luiz sedang tidak ingin pulang ke rumah.

Luiz, melihat Eri, yang masih duduk memandangi keduanya, lalu, tak lama tangan Luiz memegang tangan gadis itu pelan.

"Lu-iz, ti-da-k, m-au, pu-la-ng." katanya terbata, dengan tatapan sedikit kesal, yang dapat di tagkap oleh Eri. Gadis itu mengusap rambut hitam lebat Luiz, ia mengangguk.

"Yaudah, Luiz boleh main di sini, Kak Eri ngga kasih tahu, kok. " ucap Eri. Tidak di gubris oleh Luiz.

Satu fakta bahwa, seuatu yang diam pun akan meluap, jika terus-menerus terpancing. Seperti ikan dilaut. Jika memancing tanpa umpan, ikan juga tidak dapat. Mungkin benar, orang tua harus bersikap baik dan mengajarkan anak-nakanya bersikap baik.

Tapi, jangan lupakan bahwa pergaulan diluar sana juga tidak semuanya baik, bahkan jauh lebih mengerikan, bisa membahayakan nasib pribadi itu sendiri.









Holaaaa kembek nih, kangen gak? Komentar dong, vote juga pastinya, biar Luiz bisa Update lagi 😁😁

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang