11. Setetes Air Mata

362 38 21
                                    

Kecil, tajam, seperti orang normal lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kecil, tajam, seperti orang normal lainnya. Luiz Fernando. Si bungsu, yang sudah 2 hari menginap di rumah sakit.  Dua hari lalu ia kejang, tubuhnya demam tinggi, hal yang selalu di khawatirkan oleh Meri.

Luiz memang unik, dia bukan hanya idiot, salah satu kata kasar yang selalu terlontarkan oleh banyak orang. Dia juga memiliki satu spesies penyakit lainnya  dalam tubuh kurusnya. Tidak berbahaya hanya saja memang sudah langganan, daya tahan tubuh Luiz jauh lebih rentan dari pada Fahira dan Eros.

"Bun, Luiz ngga apa-apa,kan?" tanya Eros. Meri tersenyum, ia mengusap wajah putranya yang baru saja pulang sekolah, bahkan dia belum sempat pulang ke rumah, Fahira juga demikian. Namun, gadis itu enggan untuk mendekat. Dia memelih duduk menjauh, dari pada ingin tahu soal keadaan adiknya.

"Luiz baik-baik aja, tipesnya kambuh, kalian pulang gih," kata Meri.

"Bun, Bunda juga butuh istirahat, Bunda sama Fahira pulang aja, biar Eros yang jagain." kata Eros.

"Kak Eros yang maksa, aku udah nolak ngga mau ikut." sahut Fahira ketus.

"Ra, kamu udah janji lho." tegas Eros.

"Iya, maaf Bun," kata Fahira.

"Sudah, ngga apa-apa. Kalian sudah makan belum?" kata Meri. Fahira menggeleng, gadis itu memang tidak selera makan sejak dua hari lalu.

Meri menghampiri putrinya, ia dusuk di sebelahnya di usapnya rambut Fahira.

"Ada apa ? Bunda perhatiin, dari kemarin kamu ngga makan apa-apa, Ra. " ucap Meri. Fahira memeluk Bundanya dari samping.

"Bun, Luiz kapan bangun? Dia ngga bangun-bangun, sih Bun," kata Fahira lirih, gadis itu mengatakannya entah dalam keadaan sadae atau tidak.

Sejujurnya Meri senang, mendengar ucapan perhatian itu dari mulut putrinya. Semenjak ia tahu adiknya mengidap sindrom, Fahira sama sekali tidak ingin mendekat atau bermain bersama Luiz.

Meri juga khawatir, pasalnya sejak ia berusaha kabur dan kembali dalam keadaan pingsan, Luiz sama sekali belum sadarkan diri. Suaminya juga masih ada di kantor, mendengar Luiz masuk rumah sakit, Fernan memutuskan untuk kembali.

"Ra, mau pulang ngga?" tawar Eros. Tidak ada respon, gadis itu terlelap dalam pelukan Meri, Bundanya.

"Adik kamu tidur Er, biarin dulu, kasihan dia pasti lelah." kata Meri, ia terus mengusap rambut putrinya yang berantakan, di selipkannya rambut itu kebelakang telinga Fahira.

"Bun, Ayah katanya nanti baru ke sini, Ayah pulang dulu sekalian mau ambil baju salin buat Bunda dan Luiz," kata Eros, Meri mengangguk.

"Kamu udah makan belum?" tanya Meri, Eros hanya tersenyum, sambil mengusap belakang lehernya. Eros memang sedang lapar, karena ia terlalu sibuk dengan tugas sekolahnya, sampai ia lupa makan siang tadi.

"Makan dulu gih, tadi Bunda beli, 4 kotak makan, di lemari kecil itu," kata Meri, sambil menunjuk lemari yang di maksud. Eros pun membuka lemari itu, ia mengambil satu kotak, untuk dirinya. Dia pun duduk di dekat brankar adiknya, sambil menikmati makanan yang telah Bundanya belikan.

"Kamu sedikit kurusan Er, kurang makan atau kurang sesuatu?" kekeh Meri, di sela kesedihannya Meri tidak mau putra sulungnya juga ikut sakit, di setiap kegiatan Eros atau Fahira, kedua anaknya sama sekalo tidak pernah luput dari pengawaaannya. Hanya saja, Meri tidak mengatakan itu, dia hanya bisa mengawasi, menegur bila salah, memarahi bila kelewatan, dan menghukum bila memang itu harus. Meri tidak ingin anak-anaknya punya rasa dendam atau hal yang tidak diinginkannya.

"Bun," panggil Eros, mulut lelaki itu penuh, matanya ikut menyipit.

"Makan dulu, baru ngomong, kebiasaan deh." tegur Meri, Eros terkekeh.  Meri melihat putrinya tertidur begitu lelap, ia pun meletakan kepala putrinya di sandaran sofa.

"Bun, Eros mengikuti beasiswa di German." kata Eros, ketika makanannya telah habis. Meri menatap lekat wajah putranya.

"Kamu serus Er? "tanya Meri, tak yakin dengan pernyataan putranya. Tapi, Eros mengangguk mantap.

"Aku serius Bun, di sana Eros mau kembangin bakat Eros, tapi, Eros ngga bisa tinggalin Luiz." kata Eros  matanya sendu, ia menggenggam jari adiknya yang masih terlelap.

"Eros ngga bisa kalau ngga ada Luiz," katanya lagi. Air mata itu jatuh tepat di punggung tangan Luiz.

"Eros-," bibirnya kelu, dia menjatuhkan kepalanya di atas tempat tidur adiknya, tubuhnya bergetar.

"Bunda, ngga masalah kamu mau melanjutkan sekolah kemana saja. Kamu ngga perlu khawatir, kalau pun kamu pergi, Luiz akan baik- baik saja, Nak." ucap Meri, wanita itu sudah berdiri disebelah putra sulungnya. Ia juga mengusap punggung putranya dengan sayang.

"Bun," panggil Fahira, gadis itu yerbatuk-batuk, dengan cepat Meri menghampirinya. Di sentuhnya kening Fahira. Betapa terkejutnya ja. Tubuh putrinya begitu panas, wajahnya begitu pucat.

Dengan segera Eros memakaikan jaket miliknya untuk Fahira, ketika ia mendengar suara Bundanya.

"Bun, dingin," kata Fahira, suaranya serak. Meri terus mengusap-usap lengan putrinya.

"Kamu pulang sama Kak Eros,  ya," kata Meri, Fahira menolaknya, ia tetap bersikeras ingin berada bersama Bundanya.

"Aku, ngga apa-apa kok, aku masih kuat." katanya. Padagal Meri tahu, kalau putrinya tidak aka  tahan jika sakit. Tapi, kali ini gadis itu memilih untuk menemani Bundanya menjaga Luiz.

"Luiz butuh Bunda, aku ngga apa-apa." katanya lagi.

"Ra, kamu ngga lagi mengigau, kan?" tanya Eros, meyakinkan.

Gadis itu menggeleng lemas, ia terus meremas jaket Eros, menahan dinginnya udara yang sudah mulai terasa menusuk itu.

"Dingin, Bun, " katanya lagi, Meri benar-benar khawatir dengan putrinya.

"Iya, Sayang, Eros belikan obat untuk Fahira ya," titah Meri, ia juga tidak tega sebenarnya menyuruh Eros, kalau saja ia bisa pergi, Meri memilih berjalan sendiri, berhubung Fahira manja ketika sakit, Meri tidak akan bisa melakukan apapun, selain menunggu Eros kembali.

"Maaf ya, Nak," kata Meri, sebelum Eros pergi.

"Ngga apa-apa Bun, Eros berangkat dulu, nanti telp Eros kalau ada apa-apa." pesannya. Lalu dia pun pergi.

"Bun," rintih gelisah itu membuat Meri semakin cemas, karena kedua anaknya sakit.

Tidak, Luiz mendengarnya. Anak itu menahan diri agar ia tidak terlalu sibuk diurusi, batinnya menangis, tanpa sadar air matanya terjatuh.

Dia merasa benar-benar menyusahkan Bundanya, kakaknya dan Ayahnya. Dia memilih bungkam.

"Maafin Luiz, Bun, Luiz salah, Luiz ngga mau buat kakak sedih, sekarang Luiz mau tidur sebentar saja, biarkan Bunda bersama Kaka. Luiz ngga mau kakak menangis lagi."

Tubuh kurus itu tak mampu memberikan isyarat kalau ia sadar, ia mendengarnya, ia tidak tuli, tapi mata dan bibirnya tidak mau bekerja, seolah ia sedang mati dalam jiwa yang hidup.

Seburuk apapun manusia, dia masih memiliki sisi lemah, di mana ia sama terluka memikirkan yang lain.






Bonus

Segini dulu ya,  semoga suka, jangan lupa vote dan komentarnya yang banyak 

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang