24. Kacau.

232 30 5
                                    

RS. Medical Center.

"Mas?" panggilan Meri membuat Fernan tersentak. Untuk yang ke sekian kalinya, anak bungsunya memasuki ruangan steril yang memuakannya.

"Luiz di dalam pasti dia takut, Mas ayo kita samperin, ayo kita hibur dia, Mas." rengek Meri, Fernan membeku di tempatnya. Pria itu tak bisa melakukan apapun selain menunggu hasil dari dokter.

"Mer, Luiz baik-baik saja di dalam, kamu jangan khawatir, biarkan dokter bekerja di dalam." ucap Fernan. Meri tetap pada pendiriannya, dia terus memelas pada suaminya, kesal dan geram, Fernan memegang kedua bahu Meri sedikit keras dan kasar.

"Mer! Dengerin Mas, Luiz akan baik-baik saja, tolong jaga sikap kamu ini, aku juga pusing, pusing memikirkan hal yang membosankan seperti ini! Tolong mengerti." ucap Fernan, pria itu membentak istrinya, saat itu juga Meri bungkam, dia menatap suaminya, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masa lalunya kembali berputar di kepalanya, Meri pun menyingkirkan kedua tangan Fernan yang ada di bahunya. Wanita itu melangkah mundur perlahan, matanya berkaca-kaca.

"Mas bilang apa? Bosan? Mas, sudah bosan bersama Luiz? Iya, Mas?" ulang Meri, langkahnya tak menentu, wanita itu melangkah tapi matanya tetap menatap Fernan, yang masih berdiri di tempatnya.

"Engga gitu Mer, dengerin Mas dulu!" bela Fernan. Meri menggeleng, ia menyuruh Fernan tetap diam di tempatnya, ketika pria itu akan melangkah mendekatinya.

"Jangan mendekat, aku tidak pernah berbicara buruk sama Mas, aku tidak pernah membangkang sama Mas, tapi kenapa, Mas menyakiti ku lagi? Mas membuat aku rapuh lagi, dan Mas buat aku sakit lagi. Dia putra kita, kan? Bukan, dia bukan putra kita, dia hanya putraku." celoteh Meri, wanita itu berdiri agak jauh dari Fernan.

"Mer, bukan begitu maksudnya, Mas bukan mau bilang begitu, Mer, dengerin Mas sebentar." bela Fernan lagi.

"Mer, ayo kita bicara baik-baik, Mas ngga ada maksud bicara kasar tadi." Kata Fernan.

"Engga, aku tahu selama ini, Mas emang ngga mau Luiz hidup, kan? Mas ngga terima semua kekurangan anak Mas sendiri, terus kenapa sekarang-"

Cup..

"Sudah, hentikan, aku yang salah, aku yang harusnya tidak berkata begitu" matanya mengerjap, setelah suaminya mencium keningnya.

"Apa? Mas bilang apa barusan ? Haah, aku ngga habis pikir, selama ini aku pikir Mas sudah melupakannya." kata Meri, wanita itu mengusap pipinya yang basah oleh air mata.

"Cukup dengan semua ini, aku lelah Mas, aku sudah muak dengan drama kebohongan kamu, kamu berpura-pura menyayangi Luiz, lalu nanti kamu membuangnya ? Iya, kan? Jawab!" kata Meri, panjang. Wanita itu terjatuh di lantai, wajag cantiknya tertutup oleh air mata.

"Kalau dari awal kamu emang ngga nerima kehadiran Luiz, aku bisa menghidupinya sendiri, membiayaimya sendiri, kalau semua itu membebani buat kamu, aku ngga mau kamu hanya pura-pura dibelakang aku." katanya lagi.

"Mer, bangun ayo, malu dilihat banyak orang, kita bicarakan nanti di rumah." kata Fernan, pria itu memegangi lengan istrinya, mengajaknya bangun, awalnya Meri menolak, ia lelah, ia menurut, tapi enggan untuk bicara pada Fernan.

Tak lama Dokter keluar dari ruangan Luiz. Fernan dan Meri segera menghampirunya. Wajah panik Meri terlihat disana, wanita itu dengan cepat memegangi tangan dokter yang menangani putranya.

"Gimana, keadaan anak saya?" tanya Meri.

"Dia hanya kelelahan, tolong jangan biarkan pikirannya terganggu, biarkan dia melakukan apa yang dia suka, agar dia merasa senang." jelas sang Dokter, Meri mengangguk.

"Apa, saya boleh melihat anak saya?" tanya Meri lagi, Dokter itu mengangguk, lalu pergi. Sementara ketika Fernan akan melangkah masuk, di larang oleh Meri. Wanita itu menatap tajam pada suaminya.

"Diam di sana, jangan masuk dan melihatnya." peringat Meri.

"Tapi Mer, dia juga anak aku, aku berhak melihatnya. " timpal Fernan. Meri menatap jengah.

"Anak aku? Aku ngga salah denger, kan, kamu bilang anak aku? Dia hanya anak aku, bukan kamu! Kamu tidak menginginkannya,kan? Karena dia lahir tidak sempurna, dia hanya milikku." Ucapan Meri membuat Fernan kacau, wanita itu berlalu menutup pintu berwarna putih itu.

"Mer, jangan begini, kita bisa bicara lagi, aku minta maaf, aku emang salah. Mer, pelis buka pintunya." pinta Fernan. Semua penginjung rumah sakit menatap sinis pada Fernan, tapi Fernan tak peduli. Pria itu duduk dibawah pintu kamar rawat putranya. Ia tidak peduli dengan orang yang membicarakan tentang dirinya. Harga dirinya jatuh saat itu juga.

Di sisi lain, di dalam sana sosok yang di ributkan sedang menikmati tidur lelapnya. Mata pandanya enggan untuk melihat keadaan sekitar. Dia lelah?

"Bunda Luiz anak nakal, Luiz salah, maafin Luiz."

Biar bibirnya bungkam, matanya terpejam, tapi batinnya menangis. Batinnya menjerit, batin itu terus menyalahkan dirinya. Otaknya sudah terlalu lelah, untuk menangkap semua pembicaraan orang-orang, yang ia sendiri susah mengungkapnya.

"Luiz, buka matanya, Sayang." ucap Meri lirih. Wanita itu kacau, wajah cantiknya tak terlihat, hanya derai air mata yang terus membasahi pipinya.

"Kalau kamu bangun, Bunda akan bawa kamu pergi dari sini, pergi jauh dari orang-orang jahat." katanya lagi, wanita itu terus menggenggam jemari lentik putranya, sesekali ia mengusap rambut hitam lebat milik putranya.

"Luiz boleh melakukan apa aja nanti, Bunda tahu, Luiz suka menari, nanti kita ajak kakak Lin menari bersama, Luiz harus bangun." ucapannya semakin lirih, terasa begitu ngilu, ia bertengkar dengan suaminya. Ini bukan perkara mudah, ia harus menentang suaminya, tapi ia juga merasa teriris mendengar ucapan suaminya tentang putranya. Hati seorang ibu akan terluka, bila melihat anak yang dilahirkannya di lukai, meski hanya dengan ucapan, tetap saja itu sudah melukai. Pria hanya bisa bicara besar, tidak tahu seberapa susahnya mengurus dan mengandung, bahkan melahirkan hingga rela bertaruh nyawa, hanya untuk kehidupan manusia lain yang ia lindungi di dalam perutnya.

Pria hanya bisa berkata, tidak pernah merasakan, jika Tuhan bisa membolak-balik,kan, hati dan situasi, pasti pria bisa merasakannya juga, tapi tidak, karena Tuhan adil. Tuhan memberi hadiah yang besar untuk wanita, jika ia mau menerima dan mau mnjaga titipannya, bukan hanya dengan pria saja, tapi sepasang suami istri jika sudah diberi titipan harus selalu di jaga, bukan? Bukankah, titipan seorang janin itu adalah sebuah nikmat dan amanah?

"Ka-ka," panggilan lirih yang terlontar dari bibir kecil Luiz.

"Luiz, ini Bunda, Nak." sahut Meri, anak itu menoleh kesebelah kirinya, manik matanya menemukan sosok wanita yang sangat ia sayang.

"Bu-n-da." katanya, Meri mengangguk, jari-jarinya tak henti mengusap rambut lebat putranya.

"Sembuh dulu, nanti kita ketemu kaka Fahira, Kak Eros dan Kak Lin, mau, kan?" katanya, mata putranya tak bisa menghindar dari pandangan Meri, terlihat jelas di sana ada luka yang begitu sesak, mata panda yang menyembunyikan banyak hal. Mata itu menyimpan banyak rahasia.

"Bunda, ngga apa-apa kok, istirahat ya," elak Meri, tapi tidak dengan Luiz. Anak itu menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang kemana-mana.

"Aku adalah beban? Apa aku pantas hidup?"

Taraaaaa sudah Up nih, ramein ya, supaya aku semangat nulisnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taraaaaa sudah Up nih, ramein ya, supaya aku semangat nulisnya. 😁 terima kasih.

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang