Malam itu udaranya sangat dingin dan menusuk, membuat wanita malang yang tengah mengandung harus bersusah payah berjalan menuju kamarnya. Kakinya ia seret kala ia tak mampu melangkah seperti biasa.
"Mas-" suara pelannya tak bisa terdengar oleh siapapun. Wanita itu terus berusaha berjalan, hingga saat ia melangkah sedikit lebih cepat, ia memikik ke sakitan. Tubuhnya lemas tak.berdaya di atas lantai dingin, air matanya mengalir deras menahan rasa sakitnya.
Saat suaminya keluar dari kamar, ia meneriaki nama istrinya, pria itu berlari terhenga-henga mendekati istrinya yang sudah terpejam.
"Sayang? Bangun ada apa Sayang?" panggilan romantis, yang selalu ia gunakan untuk memanggil istrinya.
Tapi malam itu istrinya hanya diam membeku, membuat suaminya menangis saat melihat sebuah cairan bening, yang keluar dari bawah kaki istrinya.
"Mer? Mer bangun Mer," tangis pilu itu membuat luka tersendiri, untuk keluarga kecil yang akan menghadirkan seorang anggota baru.
"Merri!" Teriaknya.
. . .
"Fer, gimana istri kamu? Kok dokternya belum keluar?" suara gelisah yang sejak datang, terus menanyakan menantunya.
"Dia di ruang persalinan Mi, Fernan ngga tahu,Fernan tadi habis dari kamarnya Eros ." jawab pria itu.
"Terus, anak kamu mana?" tanya wanita paruh baya itu.
"Ada Gafry di rumah, aku ngga mau Eros atau Fahira tahu, kalau Bundanya ada di sini." katanya. Pria itu terus berdiri di depan ruang persalinan, matanya terus menatap ke arah pintu, meski dia menjawab pertanyaan ibunya, tapi pandangannya tetap pada pintu, yang tertutup.
Waktu berjalan begitu cepat, tangis seorang bayi mulai terdengar. Fernando menatap ibunya tak percaya.
"Mi? Merri-" ucapannya terbata, Kania mengangguk, mengusap punggung putranya, "masuk Nan, Merria membutuhkan kamu." ucap Kania.
Dengan riang Fernando memasuki ruang persalinan itu, dia melihat istrinya yang terbaring lemah diatas kasur berwarna biru.
"Selamat Pak, istri anda melahirkan seorang putra yang tampan, mari saya permisi." Pamit Dokter cantik yang menangani istrinya. Fernan melangkah perlahan melihat istrinya, dan juga bayinya yang ada dalam box bayi, putranya begitu lucu. Fernan mengusap wajah istrinya perlahan, ketika ia sudah berada tepat di sisinya.
"Terima kasih, kamu sudah menjadikan aku seorang ayah lagi, dia tampan seperti aku." bisiknya pelan, diusapnya berulang kali rambut hitam istrinya.
"Kita akan memberinya nama, ketika kamu sudah bangun." katanya lagi. Cukup lama dalam posisinya, Fernan melihat ke arah box bayi itu, dia menggendong putra kecilnya lalu mengumandangkan adzan secara bergantian.
"Anak Ayah, jadi anak yang sholeh ya," bisik Fenan di telinga kecil milik putranya. Lalu ia kembali meletakan bayinya.
Seiring berjalannya waktu, bayi itu tumbuh berkembang bagaikan anak-anak lainnya. Dengan fisik yang sempurna, tanpa cacat.
"Luiz! Itu punya Kakak!" pekik seorang gadis yang marah kepada adiknya.
Anak laki-laki itu menunduk, ia menautkan jari-jarinya dan memainkan jari-jarinya, dia hanya bisa diam ketika kakak perempuannya memarahi dirinya.
"Umur udah 7 tahun, tingkah masih kaya anak kecil! Minggir!" pekik gadis itu lagi, sambil mendorong bahu milik anak laki-laki itu.
"Fahira! Kamu jangan gitu sama Luiz, dia adik kita. Kamu bersikap baik dong!" ucapan kakaknya terus menampar gadis itu.
"Adik kita? Aku ngga sudi! Dia ngga pernah jadi bagian dari kehidupan aku. Ingat itu Er!" bantahan gadis itu membuat remaja laki-laki berusia 17 tahun itu menahan amarahnya.
Dia merangkul bahu adiknya lalu memeluknya dari samping.
"Udah ngga apa-apa, Luiz sudah makan?" tanyanya pelan. Anak itu bungkam, dia memang sering kali di kasari oleh kakak perempuannya, tapi kakak laki-lakinya begitu sayang padanya.
"Makan bareng Kak Eros mau?" tawar anak laki-laki itu. Luiz menatap takut pada Eros, selalu seperti itu ketika Eros berada di rumah.
Cowok itu mengulas senyumnya, lalu mengacak rambut adiknya, "yaudah kita ketaman, mau ya? Mumpung masih pagi, nanti kita izin sama Ayah sama Bunda." katanya.
"ka, Er-os, baa-ik." katanya terbata,
"Luiz lebih baik, yuk." katanya lalu mengajak adiknya pergi.
. . .
"Fahira! Sudah berapa kali Ayah bilang jangan kasar sama Luiz!" bentak Fernan, yang tak lain adalah Ayahnya.
"Kenapa sih, semua belain Luiz. Kalian ngga peduli sama aku, kalian memikirkan Luiz, kalian ngga memikirkan aku, kalian egois! Kak Eros, juga, kenapa Ayah? Kenapa ?!" teriak gadis itu, sambil memekik, setiap kali dia berdebat dengan Ayahnya.
"Kamu ini," pekiknya, tangannya sudah melayang, siap ia daratkan ke wajah putrinya.
"Tampar aku ayah, tampar! Ayah kesal,kan? Tampar Yah, tampar." tangannya memukuli pipinya sendiri, gadis itu menangis, rasa tak tahan ketika ia terus berdebat dengan Sang Ayah.
Fernan pun mengurungkan niatnya, dia menaik tubuh kecil putrinya ke dalam pelukannya.
Dia memeluk erat tubuh putrinya, di ciumnya pucuk kepala putrinya, "maafin Ayah, ayah khawatir," ucap Fernan lirih."
"Fahira kesal, kalian terus memperhatikan Luiz." ucap gadis itu lirih.
Tanpa mereka sadar, ada seseorang dibalik sana yang mendengarkan percakapan ayah dan putrinya.
"Bunda yang salah, maafin Bunda, Sayang."
Sampai di sini, di ramein yuk 😘😁😁
KAMU SEDANG MEMBACA
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]
Ficción GeneralJika penyesalan datang hanya di akhir, lalu untuk apa menyempurnakan maaf, jika terus di hantui dengan rasa bersalah. ~Fahira Aveza Fernando~ Dunia baru untuk Veza, dan dunia yang rumit untuk seorang Luiz Fernando, dengan keterbatasannya, dia menjad...