12. When Night Falls.

324 39 9
                                    


Hampir 5 hari, Luiz hanya berbaring tanpa respon, dia memang sudah sadar, tapi ia tidak merespon.

Sudah berbagai cara yang di lakukan Bunda, Ayah dan kakak-kakaknya. Tetap, anak itu tidak mempedulikannya. Ia hanya bisa merasakan dadanya sesak tanpa bicara, ia hanya bisa meneteskan air mata tanpa bersuara, ia juga hanya bisa diam tidak mau memberikan sepatah kata, yang selalu ia tunjukan meski terbata. Tapi, kali ini Luiz benar-benar bungkam. Ia terus memandang langit-langit kamar rawatnya, diam? Iya diam adalah pilihannya, entah sampai kapan.

"Luiz, Luiz bisa dengar Bunda, kan?" suara lirih Meri membuat Luiz merasa sangat sedih. Dia mendengar, dia tidak tuli, tapi apa pun yang ada di kepalanya tak mungkin ia ucapkan dengan lancar.

"Lihat Bunda, Nak." Kata Meri, wanita itu menatap sendu pada putranya, dia menangis, sudah lima pekan putranya tak mau mengatakan apapun.

"Luiz? Ini Ayah," panggil Fernan. Hasilnya tetap sama, anak itu tidak merespon. Dia lelah?

"Permisi. Selamat pagi," Terdengar suara Dokter Kezy, memasuki kamar rawat Luiz.

"Pagi Dok." sapa Fernan, yang mempersilakan Kezy, pria itu sedikit menyingkir agar Dokter Kezy bisa memeriksa putranya.

"Hallo, Luiz. Apa apa kabar?" sapa Kezy, wajah menawannya tak luput menghilangkan senyum manisnya.

"Luiz hari ini suntik dulu ya," kata Kezy, ia mulai memberikan suntikan kepada Luiz, anak itu tidak ada pergerakan sama sekali, ia menerima begitu saja, meski rasa linu itu akan terasa nantinya.

"Bunda Luiz takut, Luiz takut Bunda." jerit tangis batinnya tak akan terdengar oleh siapapiun, tapi reaski setelah Kezy memberikan suntikan itu, Luiz perlahan memejamkan matanya, anak itu kembali terlelap.

"Sampai berapa lama?"

pertanyaan yang selalu muncul dari otak Meri, ia menatap Fernan suaminya, begitu pun pada Kezy, Dikter sekaligus sepupunya.

"Jangan khawatir Mer, dia masih perlu beradaptasi lagi, untuk pertama kalinya dia keluar rumah tanpa pamit itu hal yang luar biasa. " kata Kezy.

"Tapi, akibatnya jadi begini, apanya yang luar biasa Ge?" protes Meri, Kezy Geofano, lelaki lajang yang baru saja menyelesaikan pendidikan Spesialisnya di universitas Yogya. Ia terkekeh melihat Meri, sepupunya.

"Zy, bagaimana perkembangannya? Apa ada peningkatan?" tanya Fernan penasaran.

"Sejauh ini cukup bagus, dia ini termasuk anak ajaib, peka dan pandai, di kondisi seperti ini, anak di usianya akan sulit melakukan apa yang mereka inginkan, atau lebih tepatnya benar-benat sudah parah. Tapi, lihatlah. Putra kalian membuktikan ketidak mampuannya untuk mandiri dalam berbagai hal kecil. Terus bersemangat meski waktunya lama." jelas Kezy, Fernan mengulas senyumnya, ia merasa sedikit lega, bahwa apa yang ia khawatirkan tidak semuanya benar.

"Kalau begitu aku permisi, oiya suntikan tadi yang terakhir, alerginta cukup bandel, jadi harus di rawat begitu lama juga ya, hehe." kekeh Kezy saat ia akan keluar.

"Makasih, Zy." ucap Fernan. Kezy mengangguk dan pergi. Di saat bersamaan Fahira muncul, tidak seperti biasanya. Gadis itu berpenampilan jauh lebih manis.

"Fah? Ini kamu?" kejut Kezy  Fahira mengerutkan keningnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Fah? Ini kamu?" kejut Kezy Fahira mengerutkan keningnya.

"Om Geo? Eh bukan, Om permen. Di sini juga?" tanya Fahira, yang tak kalah terkejutnya.

"Yeh, orang Om tugas di sini, gimana sih kamu," seru Kezy.

"Ih, Fah ngga tahu, lagian ngga bilang-bilang." katanya, Fahira mengerucutkan bibirnya, membuat Dokter muda itu terkekeh melihat anak sepupunya.

"Masih doyan permen?" tanya Kezy, yang masih hafal dengan kebiasaaan buruk Fahira.

"Udah engga, Kak Eros marah-marah kalau aku makan permen, padahal aku kangen berat." celoteh gadis itu. Dengan sayang, Kezy mengacak rambutnya. Gadis itu tak protes, karena selain pelukan hangan Eros, dia juga selalu rindu di peluk oleh Om-nya.

"Sini, " dengan cepat Fahira memeluk tubuh tinggi Kezy. Pria itu memeluk gadis kecilnya dulu, gadis kecil yang selalu cemburu bila ia dekat dengan wanita cantik. Aneh, bukan?

Satu fakta lain, yang ada dalam diri Fahira, ia bukan membenci adiknya dia hanya cemburu, karena kecemburuannya dia jyga membuat pembatasnya sendiri. Padahal ia adalah orang yang sangat mengkhaaatirkan Luiz.

Seperti tempo lalu, Fahira diam-diam memergoki adiknya yang sedang asik menggambar di dalam kamarnya. Senyum itu menerkah, saat ia melihat adiknya bersaha memegang pensil dengan benar.

Dia juga diam-diam mengawasi setiap pergerakan Luiz, tapi egonnya sangat tinggi. Dia tidak mau mengakuinya. Itu lah hal terbhuruknya.

"Om, aku-," ucapannya terpotong, saat Meri memanggil namanya. Kezy pun pergi, karena sudah terlambat memeriksa pasien lain.

"Bunda, aku kan udah bilang aku pasti masuk, huuu, kan, sudah lama ngga ketemu Om Kezy." protes Fahira. Matanya diam-diam melirik pada brankar yang di tiduri oleh adiknya.

"Oh, iya Bun, Kak Eros kayanya ngga bakal kesini, soalnya dia lagi capek katanya, jadi aku gantian yang jagain ya, Bunda sama Ayah pulang aja. Lagian aku udah sehat, gih sana buruan." katanya, Fahira pun mendorong pelan kedua orang tuanya, padahal masih pukul 10 pagi.

Mau tidak mau, Meri dan Fernan menuruti keinginan putrinya. Lagi pula apa salahnya memberika waktu untuk putrinya bisa menerima Luiz dalam keadaannya yang terbatas itu.

. . .

Waktu berlalu begitu cepat, gadis itu terlelap dalam tidurnya, hari sudah mulai gelap, ia meletak kan kepalanya di atas brankar Luiz, tangannya terus menggenggam jemari Luiz, adiknya.

Dingin.

"Kak, aku yakin, suara itu akan melampaui hati, makasih Kak, aku senang."

"Luiz!" teriaknya. Fahira bangun dengan terhenga-henga, seperti mimpi yang nyata, dia melihat Luiz, anak itu masih terpejam.

"Dasar idiot, cepat sembuh."

Satu kalimat bermakna dalam hidup Luiz, jika ia bangun, itu bukanlah mimpi.

Fahira pun beranjak dari kursinya, ia menarik selimut yang hanya setengah dada, ia naikan sampai batas leher adiknya. Di usapnya rambut hitam lebat milik Luiz.

"Kak, aku merasakan itu, aku merasakan itu. kali pertamanya sentuhan kakak buat aku semakin nyenyak dalam tidur."

"Kak, rasanya aku tak ingin bangun."

"Luiz mau begini terus, supaya bisa dekat dengan Kaka."

"Luiz sayang, Kaka."

Batin Luiz terus bersuara, seolah batinnya telah menjawab semuanya, bukan lisannya yang kakuuntuk bisa berkata, ia seperti malam yang datang dengan sinarnya. Luiz Fernando.

Tapi, apa yang terbayang malam itu, bukanlah sungguhan.

"Die!"








Huft, segini dulu yaaaaaa 😘😘😘
vote dan komentarnya di tunggu. Terima kasih.

Bonus nih.

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang