Tepat di hari ke delapan, Luiz sudah di perbolehkan pulang. Dia terlihat segar. Wajahnya datar, tatapannya biasa saja, tidak ada lekuk senyum yang terlihat di sana. Meski dia sudah menunjukan senyumnya, tetap saja itu bukan senyum sebenarnya. Anak itu memilih diam, dia duduk di belakang bersama Meri, Ibunya.
"Luiz, kok diem aja sih, Nak?" kata Meri, Luiz tidak hentinya menatap keluar jendela mobil. Tidak mempedulikan ucapan Bundanya.
"Luiz, mau main ke rumah Om Key?" tawar Fernan, pria itu melihat putranya dari arah spion kecil yang ada di depannya.
"Emang Keylan udah pulang Mas?" tanya Meri.
"Keylan sudah sejak kemarin ada di rumah Papa Bun," kata Fernan.
"Yaudah sekalian aja, aku juga kangen sama Papa." Kata Meri.
"Ka-kek, Ar-vin?" kata Luiz, anak itu menatap Bundanya. Matanya verbinar.
"Iya, Sayang, mau ketemu ?" ucap Meri. Anak itu mengangguk antusias.
"Mas, ke rumah Papa ya." Putus Meri.
"Nanti aku kabarin anak-anak, mereka langsung ke rumah Papa aja " tambah Meri, Fernan mengacungkan ibu jarinya, tanda setuju.
"Bu-n-da?" panggil Luiz. Anak itu menatap sendu ke arah Bundanya.
"Iya, Syang?" sahut Meri, wanita itu mengusap lembut rambut putranya.
Luiz hanya diam, dia meletakan kepalanya di bahu Meri, sebagai sandaran.
"Luiz ngantuk, Nak?" tanya Meri, anak itu tidak bergerak, matanya sudah terpejam setelahnya.
"Kenapa Bun?" tanya Fernan heran, ia memberhentikan mobilnya ketika lampu merah menyala.
"Dia tidur Yah, masih lemas kayanya." kata Meri, ia menggenggam jemari putranya, di usapnya lembut pipi putranya.
"Bu-n-da," panggilnya lirih. Anak itu mengigau, kelopak matanya begerak, dengan bebas air matanya terjatuh begitu saja.
"Luiz? Anak Bunda, hei, ada?" Di tepuknya pelan pipi tembam putranya bungsunya.
"Bu-n-da." Panggilan itu terus di ualngnya, suaranya parau, seah dia sedang bermimpi buruk.
"You can die."
Ucapan Fahira benar-benar mengusik pikirannya, dia sama sekali tidak tenang ketika kata-kata menyeramkan itu menusuk kedala. Pendengarannya.
"He-he-he," tangis anak itu, mulai terdengar, begitu berbeda tak lagi sama, dia menangis tubuhnya bergetar, dapat di rasakan oleh Meri.
"Mas?" panggil Meri, suaminya menyahut tapi dalam keadaan fokus ke jalanan. Fernan melajukan mobilnya ketika lampu sudah kemvali hijau, perjalanan ke rumah Ayahnya memang cukup jauh, karena Ayahnya tinggal di daerah Sukabumi Jawa Barat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]
General FictionJika penyesalan datang hanya di akhir, lalu untuk apa menyempurnakan maaf, jika terus di hantui dengan rasa bersalah. ~Fahira Aveza Fernando~ Dunia baru untuk Veza, dan dunia yang rumit untuk seorang Luiz Fernando, dengan keterbatasannya, dia menjad...