Sesak rasanya, itu sudah pasti. Sangat berat untuk melepaskan sesuatu yang sudah menjadi sebuah kesayangan.
Tak pernah ada yang tahu, takdir akan membawa jalan baik atau buruk. Semua itu kembali lagi pada diri manusia masing-masing. Tuhan itu tidak tidur, jadi berusahalah untuk selalu bersyukur dengan apa yang di dapat. Sebelum kecelakaan itu terjadi, Fernan dan Meri sempat berdebat. Perdebatan itu tidak hanya sekali, bahkan kali ini sangat luar biasa, amarah Fernan membabi buta, pria itu pergi dalam amarahnya. Menyetir dengan kecepatan maksimal, sedangkan ia membawa istrinya, Meri sudah berusaha mengingatkannya, padahal itu untuk kebaikannya. Tidak, tapi Fernan tidak peduli pesan baik itu, Meri terus berdoa, di malam derasnya hujan dan semua tahu jalanan pasti sangat licin, belum lagi saat melewati tikungan tajam menuju vila yang ada di puncak. Ya lagi-lagi tugas itu ada di puncak.
"Mas, jangan nekat, meski masih sore tapi hujannya deras."
"Jangan hentikan aku Mer, aku akan ikut rapat itu."
"Tidak Mas , lebih baik Mas diam saja di sini," tatapan itu langsung mengenai Meri.
"Diam di sini? Apa kamu lupa karena anak itu kita harus berusaha kembali. Ini saatnya." kata Fernan.
"Apa? Mas menyalahkannya lagi? Dengar aku, Dia tidak bersalah sama sekali, Mas sudah berjanji tidak akan mengungkit masalalu 3 tahun lalu. Mas lupa?"
"Aku tidak lupa, aku hanya enggan untuk berdebat." balasnya.
"Jangan lupakan janji yang kamu buat sendiri, aku selalu mrngingatkan hal yang baik untuk mu Mas, tapi selalu kamu abaikan."
"Jangan menaseehati aku, aku tahu, aku dengar dan aku ingat. Sudah jangan memulainya." katanya.
"Mas-"
Suaranya terhenti, suara klakson besar terdengar dari lawan arah, teriak histeris Meri membuat Fernan menukik tajam, membanting stirnya hingga ia menerjang pembatas jalan dan jatuh ke jurang.
Dan siang yang penuh duka kembali merasuki kediaman Fernando. Pria itu selamat, tapi tidak dengan istrinya. Sungguh hal yang sulit untuk di rasakan.
Jenazahnya memang sudah rapi terbungkus di dalam peti.
"Bunda, jangan tinggalin Luiz."
Suara yang mewakili perasaannya yang kacau, anak itu hanya bisa memandangi Bundanya dari jarak jauh, dia benar-benar ingin memeluk Bundanya, tapi di sana ada Fahira, Luiz sadar keberadaannya nanti akan membawa keributan, dia memilih diam, diam yang selalu ia andalkan sebagai rasa sedihnya.
"Luiz ngga mau sendiri Bunda."
"Luiz, sa-yang, Bun-da."
"Luiz, sa-yang, Bun-da."
"Hee-hee, Bun-da!" katanya.
Bahkan menjeritpun sulit apalagi harus berteriak seperti Fahira. Ia mengepalkan kedua tangannya, Lintang yang berdiri di sebelahnya pun merasa sebuah getaran amarah, kesal dan kecewa di sana.
"Istirahat ya, aku temani." katanya. Luiz menggeleng, ia terus saja mengulang-ulang kalimat yang sama.
"Luiz, sa-yang, Bun-da." katanya.
"Iya, tapi Luiz harus istirahat dulu." titah Lintang. Luiz kembali menggeleng. Anak itu melangkah, karena ia benar-benar ingin bertemu dengan ibunya.
"Lui, ah anak itu, kembali Lui!" teriak Lintang. Tapi, Luiz tidak mendengarkannya. Anak itu tetap melangkah maju, sampai sorot mata tajam itu menatapnya ia tak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]
General FictionJika penyesalan datang hanya di akhir, lalu untuk apa menyempurnakan maaf, jika terus di hantui dengan rasa bersalah. ~Fahira Aveza Fernando~ Dunia baru untuk Veza, dan dunia yang rumit untuk seorang Luiz Fernando, dengan keterbatasannya, dia menjad...