4. Badai.

438 53 9
                                    

Teriak histeris memenuhi kamar Luiz. Anak itu terkapar di atas kasur dengan darah yang mengalir dari telapak tangannya.

"Luiz, bangun, Nak." panggil Meri, sambil menepuk pelan pipi putranya. Anak itu tidak mau membuka matanya, tubuhnya terasa panas, Meri melihat serpihan kaca yang berseralan di dekat kasurnya serta air yang tumpah di sana.

"Eros! Kak!" teriak Meri, dengan cepat Eros melesat menghampiri panggilan ibunya.

Napasnya terhenga-henga, putra sulungnya berdiri memegang dadanya, mencoba mengatur napas.

"Ad-a apa Bun?" tanya Eros, yang mulai menstabilkan napasnya, lalu ia melangkah, matanya melotot melihat sosok yang terbaring di atas tempat tidur.

"Luiz kenapa, Bun?" tanya Eros, yang langsung melompat ke atas kasur adiknya.

"Bunda ngga tahu, kamu ambil p3k gih, dia sepertinya mengamuk, Bunda takut lukanya infeksi, buruan Er." titah Bundanya, Eros pun segera menyambar laci yang ada di kamar adiknya, dia menemukan kotal p3k yang memang selalu tersedia.

"Bun," panggil Eros, ia memberikan kotak p3k itu. Tanpa menunggu lama Meri segera mengobati telapak tangan putranya perlahan-lahan.

Eros yang memang trauma akan darah, ia membuang wajahnya, meski hatinya ingin melihat, tapi dirinya tetap menolak.

"Halah, lebay banget sih, baru kaya gitu aja, udah di cemasih. Kenapa ngga mati aja sih!" celetuk Fahira, gadis itu berdiri diambang pintu kamar adiknya, tangannya dilipat di depan dada, tatapannya sinis, selalu seperti itu.

Eros yang mendengarnya, anak sulung itu berdiri lalu melangkah menedekati adik perempuannya. Ia tarik tangan adiknya, sampai gadis itu memekik ke sakitan.

"Kak Eros! Lepasin!" jeritnya. Tidak dengan Eros, ia terus menarik adiknya, sampai di halaman belakang rumah, barulah Eros melepas begitu saja lengan adiknya.

"Aw.... Sakit! Kakak Jahat!" ocehnya. Eros kembali menatap adiknya dengan tajam. Gadis itu terus mengusap pergelangan tangannya, yang sedikit memerah, karena cengkraman Eros.

"Kamu mikir ngga? Kamu, udah menyakiti hati Bunda. Punya perasaan ngga sih, kamu? Huh!" Ucap Eros di sertai amarahnya. Gadis itu membelalak menatap wajah Kakaknya.

"Kenapa? Kakak ngga terima aku bilang begitu? Ayolah, dia cuma anak idiot yang akan merusak masa depan kita. Kakak, dulu pernah cerita ke aku, kalau kakak mau jadi seorang seniman hebat. Apa Kakak lupa?" bela gadis itu.

Eros tetap diam, raut wajahnya sama sekali tidak bisa di tebak. Tapi gadis itu tetap berbicara, seolah tidak ada penyesalan atas ucapannya.

"Kak Eros! Denger aku, kan?" kata gadis itu di goyangkannya tubuh tinggi Kakaknya.

"Kak Eros? Kaka denger aku, kan?" katanya lagi, tetao tidak di sahut oleh si pemilik nama.

Dengan lemas Eros menjatuhkan kedua lututnya di hadapan adiknya, wajahnya tertunduk, air matanya meleleh begitu saja. Bahu kekar itu bergetar seiring tangisnya yang pecah.

"Kak? Kak Eros kenapa?" tanya Fahira, adiknya itu langsung merangkul bahu kakaknya. Eros sudah tak sanggup menahan tangis itu, dadanya terasa sesak.

"Kamu ngga tahu Ra, Bunda sama Ayah juga sama seperti kamu, mereka terluka." ucapan lirih Eros membuat Fahira bingung. Dia membenarnya tubuh kakaknya.

"Apa maksud kakak? Bunda itu terlalu sayang dan lupa sama kita, Bunda itu ngga cuma punya satu anak, tapi tiga kak, tiga!" pekiknya lagi. Eros tak sanggup menatap wajah adiknya. Fahira sama sekali tidak bisa menerima keberadaan adiknya. Sama sekali menolak kehadiran Luiz dalam kehidupannya.

Fahira benar-benar membenci sosol Luiz, baginya Luiz hanya seorang penyandang autis yang sama sekali tidak bisa di ajak bicara dengan akal sehat. Dia sama sekali malu memiliki adik sepertiLuiz.

Jika di pikir, Luiz hanyalah bocah kecil yang tidak mengerti apa-apa, di marahi pun dia tidak pernah memperlihatkan ekspresinya.

Seperti dua minggu lalu, ketika liburan ke rumah neneknya. Luiz sangat di oerhatikan di sana, samapai Kakek dan Neneknya tidak melihat cucu yang lain.

Rasa iri yang begitu besar, sampai terlihat pikiran kotor dalam benak Fahira, tapi ia urungkan, dia tidak ingin di cap sebagai anak durhaka, sampai suatu hari ia benar-benar kesal pada Luiz, karena hal kecil.

"Kamu itu bodoh! Ngga usah ikut main, ngerusuhin doang. Sana pergi!" jerit kesal yang selalu di tampak, kan.

Dan hari ini, tepatnya ketika akan makan malam, Fahira mengatakan hal yang menyayat hati seorang Ibu. Bundanya menangis, saat Fahira mengatakan kalau adiknya lebih baik mati.

Jika di pikir hati ibu mana, yang tidak terluka jika anaknya bicara lancang seperti itu, tapi semua itu di tutupinya, ia lebih memilih mengobati putranya tanpa harus melihat Fahira.

"Kak? Jawab aku." pintanya. Tapi Eros mengurungkan niatnya, ia kembali bangkit, lalu menatap lurus ke depan. "Sampai kapan pun, kamu akan sulit untuk menata hati yang rapuh. Jika kamu tidak pernah mau memasuki dunianya." kata Eros. Lalu ia berbalik, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi, Fahira tetap diam membeku di tempatnya, di cernanya baik-baik perkataan Eros.

"Alah, bodo amat. lagian aku ngga salah, aku selalu benar. Dia memang bodoh. Haaa lalukan sesukamu Fahira, kamu akan tetap damai kok."gumam Fahira. Gadis itu melangkah masuk kedalam rumah. Tepat saat Ayahnya datang.

"Lho, Fahira, rumah sepi banget, yang lain ke mana? Bunda? " tanya Fernan. Gadis itu mengangkat kedua bahunya tanda kalau ia tak tahu.

"Ayah tumben cepet pulang, mau aku buatin teh hangat?" katanya.

"Boeleh, ayah bersih-bersih dulu ya." balas Fernan, gadis itu mengangguk lalu berlari kecil menuju dapur.

Selang beberapa waktu, tibalah saat makan malam, di sana hanya ada Eros, Fenan dan Fahira. Tidak ada Meri atau pun Luiz.

"Bunda mana?" tanya Fernan, sejak pulang ayah 3 anak itu belum melihat istrinya.

Kedua anaknya hanya diam, Eros yang tidak mau banyak komentar, memilih menikmati makan malamnya, sementara Fahira, asik dengan ponselnya yang berada di sebelah kirinya.

"Ayah tanya kalian, kenapa kalian diam saja." katanya lagi.

"Ada apa, Mas?" sahut Meri, yang baru keluar dari kamar putra bungsunya.

"Lho Bun, kok kamu dari kamar Luiz, terus Luiznya mana?" selidik Fernan, tapi Meri tidak menanggapinya. Wanita itu berjalan menghampiri suaminya, dan duduk di sebelahnya. mata pandanya terlihat sembab, wajahnya lesu. Tidak seperti biasanya.

"Bun?"panggil suaminya, Meri tetap diam.

"Udah Mas, habisin makannya, nanti istirahat."

Hanya itu, lalu Meri menyuapkan makanannya ke dalam mulut, rasa sesaknya masih membekas, kala ia harus melihat putrinya dengan santai menyantap makan malamnya. Sedangkan Luiz, dia harus berbaring di tempat tidur karena kelelahan, seharian terus menerus memberontak. Eros atau pun Fahira tidak ada yang mengetahuinya.

"Aku sudah selesai, aku pamit duluan ya, Yah , Bun," pamit Eros, lalu menatap malas pada adik perempuannya. Eros pun pergi meninggalkan meja makan usai pamit. Dia melangkah menaiki anak tangga satu persatu, dengan langkah kaki yang lemas.

Pikirannya tetap pada adiknya, separah apa kondisi Luiz, sampai Bundanya begitu lama berada di dalam kamar anak itu.

Seperti badai, yang menerpa hatinya, pikirannya tidak tenang, ia terus memikirkan adiknya.

Apakah ucapan Fahira benar-benar melukai hati Bundanya, atau kah ada hal lain, yang di sembunyikan Bundanya? Hanya waktu yang bisa memnjawab.




Kelar deh, mueheheh jangan lupa vote dan komentar. 😋😘

Bomus vidio selamat menonton. 😎🤗

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang