40. I Want to Die

237 24 2
                                    

Harapan dan kenyataan. Adakah kata lain selain dua kata itu? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh seorang penyandang sinrom seperti Luiz, jika hidupnya sudah berantakan?

Waktu yang bertanya dan waktu juga yang nantinya akan menjawab. Sudah sebulan Lintang pergi, Dan sudah 2 bulan juga duka membekas itu masih terasa. Luka yang harusnya ia mampu lupakan, tapi kenyataannya luka itu malah semakin sulit. 2 bulan bukan waktu yang sebentar untuk melupakan sosok ibu dari dalam diri Luiz. Sosok wanita yang tak pernah lelah untuk menjaga dan mengurusnya. Kini sosok itu pergi tak-kan kembali. Sementara Lintang? Remaja itu entah akan sampai kapan dia akan mau kembali lagi.

Selama kepergian Lintang, sikap Fahira terhadap Luiz sudah mulai membaik, bahkan gadis itu terus berusaha membujuk adiknya untuk mau berbicara dengannya. Setiap hari saat pulang dari kantor atau pun saat libur dan ada di rumah. Tapi, Luiz bungkam, anak itu hanya diam tak mau mengatakan apapun, sedih, kesal, ataupun amarahnya selalu ia tahan, atau lebih tepatnya Luiz akan melampiaskan itu semua diatas sebuah kanvas putih yang selalu tersdia di kamarnya.

Jangan, kan Fahira dan Eros, Fernan, sebagai Ayahnya saja tak bisa meredam keterdiaman anak bungsunya. Setiap kali Luiz buka suara, hanya nama Lintang yang terlontar.

'Kak Lin, Kak Lin.'

Begitu terus, hingga malam itu tiba, malam di mana Lintang sudah pergi selama 2 minggu, rasa sepi mulai menguasai pikiran Luiz. Dia tak lagi bisa mengontrol dirinya, dia menangis dalam diam, entah bagaimana caranya, anak itu selalu berdiri di depan cermin yang memang sudah tinggal separuh, karena sudah ia pecahkan, beberapa bulan lalu.

Jika di lihat memang miris dan linu, malang dan sakit. Luka lama belum sembuh muncul luka baru. Tak ada satu pun yang mampu mrmahami dirinya, keterbatasannya benar-benar mempersulit dirinya. Tepat kemarin sore, Karel teman kecilnya berkunjung ke rumah, gadis itu masuk ke dalam kamar Luiz, dia dusuk di sebelahnya, dilantai beralaskan karpet berwarna cokelat bergambar spidermen.

"Hallo Luiz, apa kabar?" sapa Karel.

Luiz bungkam, ia selalu menatap foto Bundanya yang sedikit kusut. Tapi saat itu,Pandangannya kosong, tatapannya benar-benar tak menandakan kalau dia sedang menatap foto yang di pegangnya. Karel mengusap bahunya pelan saja, ia tak merespon.

"Luiz, maafin aku selama ini aku tak bisa mengunjungimu. Aku sibuk dengan sekolah dan tugasku." tuturnya. Luiz masih tetap diam. Karel sedih kala ia hadir Luiz dalam keadaan tak sama, biasanya ketika ia berangkat sekolah atau pulang sekolah, Luiz berada di depan halaman rumahnya bermain bersama Lintang, Karel beruntung bisa mengenal Luiz, karena baginya Luiz spesial, pria yang aneh dengan sikap yang tak semua orang bisa duga.

"Luiz, bicara sesuatu." ucap Karel.

Luiz merasa kalau sentuhan Karel membuatnya tersadar, ia menoleh ke arahnya, wajah cantik Karel yang ia tangkap dengan kedua manik matanya. Si mata Panda jukukannya.

Sendu. Iya, itu lah yang dapat di rasakan oleh Karsl, gadis berusia 17 tahun itu merasakan luka yang terdapat dalam mata panda Luiz.

"Bun-da." katanya. Anak itu bergumam begitu lirih, saat iya menyerukan panggilannya untuk Meri. Satu tetes air matanya jatuh.

"Ka-rel, Luiz, Ing-in Bun-da." serunya lagi.

Karel melihat foto almarhumah Meri, di ambilnya foto itu.

"Bunda Meri cantik ya, kaya malaikat, tapi ngga bersayap, kamu sayang banget sama Bundamu, Luiz?" katanya. Luiz tak merespon.

Karel masih bersikap tenang dan mencoba menghibur temannya itu. Gadis itu mencari sesuatu yang bisa ia pakai, pandangannya tertuju pada tempat tidur. Di sana ada sebuah boneka pig berwarna pink dan dholpin, yang berjejer raoih di dekat tumpukan bantal.

"Pasti itu boneka kesayangan Luiz." batinnya, lalu ia pun meletakan foto Meri, dan beranjak mengambil kedua boneka itu.

"Luiz,jika aku boleh pinjam, apa kamu akan memberikannya ?" tanya Karel.

Gadis itu telah duduk kembali usai mengambil kedua boneka itu.

"Ti-dak." jawab Luiz cepat. Karel terkejut, saat Luiz mengambil paksa boneka dholpin yang ada di pegangan Karel.

"I-ni, Bun-da, jang-an sen-tuh. Dia Mil-ik Luiz." katanya susah payah, lalu di peluknya erat. Wajahnya menunduk. Rasa kejut yang Karel dapat benar-benar tak terduga.

"Oh, jadi Bunda Meri memberikannya untukmu? Baiklah, kalau begitu,apa kamu bisa berhenti mendiami aku, karena aku bosan bila kamu diam." ucap Karel, gadis itu memberengut sebal. Luiz diam dan mengabaikannya.

Luiz mengangkat kepalanya menatap Karel, mata pandanya sudah berkaca-kaca. Kini tak ada lagi orang yang mengerti akan dirinya, hanya satu yang paham tapi sudah tiada.

"Luiz, aku tahu kamu sangat merindukan Bundamu, dan soal Lintang, kita bisa bicaranya padanya lewat telepon, kan?" kata Karel.

"Tida-k." bantahnya.

"Luiz, dengar baik-baik, jika Kak Eros dan Kak Fahira pergi setiap hari, apa kamu tidak merindukan mereka?" tanya Karel.

"Luiz, rin-du, ta-pi, kak-ak tid-ak." gumamnya.

Ucapan Luiz terdengar langsung oleh Fahira, yang berdiri di depan pintu kamar adiknya yang terbuka.

"Aku juga rindu senyum bodohmu Luiz." batin Fahira.

"Kalau rindu, kenapa tidak di sampaikan?" ucap Karel. Luiz menggeleng cepat.

"Kak-ak, tid-ak, suka, deng-an Luiz, dia ben-ci Luiz." tuturnya.

Karel gemas, ia menangkup kedua pipi Luiz, diusapnya bercak air mata yang mulai mengering.

"Suatu saat Kak Fahira akan merasakan rindu yang Luiz punya, rasa sayang Luiz tak akan pernah padam, benar, kan?" kata Karel, Luiz memegang tangan gadis itu, lalu melepaskannya dari pipinya.

"Tida-k, Luiz, tida-k ing-in." katanya.

"Jangan bilang begitu, Kak Fahira pasti menyangi Luiz." kata Karel keukeh.

Luiz menatap tajam pada Karel, dia berdiri menunduk melihat Karel, di remasnya boneka dholpin yang ada di tangannya.

"Luiz ada apa ?" tanya Karel, bingung dan ikut berdiri.

"Tid-ak ada, Bun-da, tid-ak ada saya-ng. Luiz, ing-in perg-i deng-an Bun-da." pekiknya terbata. Matanya memerah siap meluapkan air matanya. Karel terkejut mendengar emosi Luiz begitu juga dengan Fahira.

"Baik, kalau begitu aku tidak akan mengenalmu, tidak akan sayang padamu, tidak akan mau melihatmu." kata Karel, kesal. Gadis itu melempar sembarang boneka pig yang tadi di pegangnya ke sudut tempat tidur. Dilihatnya Fahira di depan pintu, lalu berlari keluar dari rumah Luiz.

Sedangkan Luiz anak itu menunduk memeluk erat bonekanya. Fahira menangis melihatnya.

"Luiz?" panggil Fahira, ketika ia melanhkah masuk kedalam kamar adiknya, gadis itu ingin meraih bahy adiknya tapi ia urungkan.

"Per-gi." pekik Luiz. Fahira terhentak di tempatnya.

"Kakak ingin berbicara sebebtar, Kakak ingin meminta maaf." ucapnya Lirih. Namun Luiz mengabaikannya. Lagi-lagi, ruang kesempatan itu tak bisa Fahira dapatkan.

Luiz baik-baik saja, tapi batinnya hancur. Dalam hitungan waktu. Jika ia boleh meminta pada Tuhan, dia ingin di cabut lebih dulu nyawanya, karena sudah merasa lelah.







Taraaaaa sudah up nih ramein ya 😊😊

Bonus Foto Karel kali ini.

Bonus Foto Karel kali ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang