3. Medan tempur yang gelap.

541 50 22
                                    

Sepanjang hari Luiz hanya bisa  melalui kegiatannya untuk melukis. Kedua orang tuanya membayar guru les, untuk datang ke rumah. Bagi Meri, putranya layak mendapat pendidikan meski dia harus membayar mahal. Ada beberapa guru yang di datangkan ke rumah, hanya untuk mengajari Luiz agar Meri dapat mengawasinya. Persis seperti pesan mertuanya, kalau Meri dan Fernan harus selalu sabar, tabah, dan ikhlas menerimanya.

Meri yakin, Tuhan itu tidak pernah tidur, apa pun keadaan putra bungsunya. Seperti siang ini, Meri yang sedang memotong buah untuk Luiz, putranya, yang asik mengambar, meski gambarnya tidak berbentuk seperti yang di harapkan. Tapi, Meri tidak pernah memberikan nilai buruk, karena Meri selalu percaya bahwa putranya memiliki bakat yang masih berubah-ubah.

"Bu-n-da." panggil Luiz. Anak itu sangat semangat menekuni kegiarannya, wajahnya memang terlihat menyebalkan, jarang menampakan ekspresinya.

"Iya, Sayang? Ada apa?" Sahut Meri, ibu 3 anak itu mendekat dan duduk di sebelah puranya. Dia menyuapi buah apel yang telah di potongnya menajdi potongan kecil.

"Wah, bagus yah, pintarnya anak Bunda." puji Meri, anak itu mengulas senyumnya, sambil menerima suapan buah yang Bundanya berikan.

"Ka-ka, pu-la-ng?" tanyanya terbata, Meri tersenyum, dia mengusap rambut hitam milik putranya.

"Nanti sore, Kaka pulang, sekarang Luiz sama Bunda, dulu, oke?" ucap Meri, bergitu telaten memberikan penjelasan pada putranya.

"I-ya," jawabnya, lalu ia kembali dengan kegiatannya.

. . .

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, sore pun tiba, dan Luiz juga sudah rapi,  siap dengan piyama favoritnya.

Tidak banyak yang bisa dia lakukan, karena keterbatasannya dalam merespon yang sangat minim.

"Assalamualaikum." salam seseorang dari arah pintu utama.

"Bun? Bunda?" panggil seorang gadis, yang tak lain adalah Fahira.

"Walaikumsalam, Fah,  pulang sendiri? Ngga bareng Kak Eros?" ucap Meri, Fahira hanya menggeleng.

"Kak Eros, tadi sama temennya, jadi aku pulang sendiri. Mm... Bunda masak apa untuk makan malam?" tanya Fahira, yang sudah duduk di sofa ruang ruang kelaurga. Gadia itu merebahkan tubuhnya melepas lelah, setelah seharian sekolah.

"Bunda masak, ayam semur dan sayur bayam, juga yang lainnya. Kamu mandi dulu sana." jelas Bundanya, lalu menyuruh putrinya untuk membersihakan diri.

"Ka-ka, Fa-hi-ra?" panggil anak laki-laki, yang berjalan endekat pada Kakaknya.

Fahira menoleh, kesal setiap kali adiknya muncul di hadapannya.

"Aduuh, apaan sih, sana-sana aku lagi capek, tahu ngga?" katanya, sekeras apa pun Fahira menjelaskan pada adiknya, tetap saja, Luiz hanya anak malang yang tak dapat merespon dengan baik. Dia tidak akan mengerti, karena Luiz sendiri termasuk dalam katagori keras kepala.

"Ay-o," paksanya lagi. Anak itu memegang tangan kakaknya, tapi di tepis oleh gadis itu.

"Minggir!" ucap Fahira kasar, sampai adiknya terhuyung  mundur ke belakang. Tubuh lemahnya hampir membentur sudut meja yang cukup tajam, tapi dengan cepat di tahan oleh Eros, yang baru saja sampai.

"Fahira! kamu yang benar aja dong, kamu mau bunuh dia ? Mikir! Kamu kakak, harusnya kasih contoh." ucap Eros kesal, dia benar-benar kesal dengan perbuatan adik perempuannya, yang sudah kelewat batas.

"Apa? Kak Eros salahin aku? Kak Eros mikir ngga, dia cuma jadi belenggu, harusnya dia di kirim aja tuh di panti asuhan. Udah bagus aku dorong, dari pada aku tusuk." kata Fahira, yang begitu menusuk hati. Meri yang sejak tadi diam  hanya mampu mengusap dadanya. Sakit bila putrinya bebicara kasar.

"Luiz, ngga  kenapa-napa, kan?" tanya Eros, yang masih memegang bahu adiknya.  Luiz diam, anak itu menunduk, seperti biasa dia tidak  pernah mau menatap siapa pun.

"Luiz, lihat Kak Eros, ada yang terluka?" tanya Eros sekali lagi. Tetap saja, anak itu tetap bungkam. Pelupuk matanya sudah perih, rasanya tak tega melihat sikap diam adiknya. Eros merangkul adiknya dan membawanya menjauh dari Fahira.

"Wah! Hebat ya, kalian melindungi satu orang cacat dari pada memikirkan anak normal lainnya. Hebat!" kata Fahira, angkuh, tapi jauh di sana hatinya terluka, seperti tersayat sebuah pisau yang sangat tajam.

"Fahira?" panggilan lembut Bundanya, di hiraukannya. Gadis itu berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya, di bantingnya pintu kamat setelah ia berada di dalannya. Tangisnya pecah, tidak bisa mengelak bahwa ia harus merasakan ketidak adilan.

"Fahira?!" teriak Meri, yang pasrah, dia duduk bersandar menutupi wajahnya, ibu 3 orang anak itu menangis dalam diamnya.  Bahunya bergetar, tak tahu harus bagaimana lagi.

"Bun?" panggil Eros, putra sulungnya  duduk tepat di sebelahnya. Dia memeluk Bundanya, untuk menenangkan. Di usapnya bahu wanita yang telah melahirkannya itu dengan sayang.

"Bunda, Eros yang akan menjaga Luiz dan Fahira, Bunda, ngga perlu sedih lagi." kata Eros, dalam diamnya Eros memiliki hati yang begitu lembut, dalam penampilan luarnya yang sedikit seram.

Eros melepas pelukannya, diusapnya  jejak air mata Bundanya. "Jangan sedih lagi, ya Bun," kata Eros,  wanita itu mengusap wajah putranya, di rasakannya tangan kurus milik Bundanya.

"Eros akan berusaha untuk menjadi Kakkak yang baik, buat Luiz dan Fahira." ucapnya.

"Bunda percaya sama Eros." balasnya. Meri beranjak dari duduknya  wanita itu mengusap kepala putranya,  sebelum pergi meninggalkan tempatnya.

"Bunda ke kamar dulu ya, kamu mandi gih, nanti kita makan malam bersama." kata Meri. Eros mengangguk, anaknlaki-laki itu menyandarkan tubuhnya, melepas lelah  setelah menenangkan adik bungsunya.

"Kak Eros janji, Kak Eros akan berusaha." gumam lelaki itu. 












Segini dulu 😁 ramein ya, biar semangat upnya kalau sempat dan waktu yang berkenan 😂

MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang