Genap seminggu, Meri dan Luiz menginap di rumah Mamanya. Ibu 3 orang anak itu enggan untuk pulang cepat perihal keadaan putra bungsunya yang masih belum mau membuka mulutnya. Anak itu terus melamun di dalam kamarnya, usaha Key dan Meri saja tidak berhasil, dibujuk untuk melakukan hal yang menarik pun di tolak oleh Luiz.
Luiz masih terus membayangkan raut wajah Fahira yang melotot padanya, saat di rumah tempo lalu.
"Luiz, makan dulu yuk, Bunda buatin spagheti nih," bujuk Meri, Luiz diam, anak itu tidak merespon, seperti biasa.
"Luiz, Sayang, kamu kalau ngga makan nanti sakit. Bunda sedih nanti," lanjut Meri. Luiz tetap diam.
"Bunda minta maaf, kalau Bunda salah sama Luiz, Bunda ngga mau Luiz sakit, terus sedih." Katanya lagi. Hasilnya sama saja, anak itu maaih diam.
"Oke, kalau Luiz ngga mau lihat Bunda, Bunda pergi aja deh, Luiz udah ngga sayang sama Bunda," kata Meri, akhirnya ia bangkit, tapi sedetik kemudian, anak itu menahan tangan Bundanya. Ia menatap nanar pada Meri, mata pandanya yang sendu kembali terlihat di sana.
"Maafin Luiz Bunda, Luiz nakal." batin itu mengucap sedih, matanya yang selalu bicara membuat Meri selalu luluh dengan tatapan itu.
"Luiz sayang Bunda, kan?" tanya Meri, yang menangkup sebelah pipi putranya.
"Kalau sayang, Luiz harus nurut, supaya Bunda juga ngga sedih." katanya. Dengan perlahan tangan kecil itu memegang tangan Bundanya lalu di ciumnya lama.
"Bu-n-da, sa-ya-ng, Lu-iz," katanya terbata. Tapi, senyum manisnya belum terlihat di wajah anak itu.
"Bunda juga sayang, Luiz," ucap Meri.
"Ma-ka-sih, Bu-n-da," katanya terbata. Meri mengangguk, lalu mencium kening putranya dengan sayang, lalu memeluknya.
"Bunda, kalau aku ada di suatu tempat, apa di sana aku dapat melihat Bunda dan Ayah? Apakah aku menyusahkan kalian? Bunda, jawab aku, aku takut." batinnya mengintrupsi dengan sendirinya, anak itu memeluk Bundanya, sambil bersandar, matanya terpejam setetes air bening itu lolos dengan sendirinya.
"Jangan tinggalin Luiz, Luiz takut Bunda, Luiz takut." Jerit tangis di dalam sana tidak dapat terdengar oleh Meri, bahkansaat Meri hendak melepaskannya pun, Luiz malah mempererat pelukan itu.
"Luiz? Ada apa, Sayang?" tanya Meri, yang mulai khawatir dengan sikap putranya yang tiba-tiba seperti itu.
Anak itu hanya diam dalam posisinya, sementara di tempat yang berbeda, Fernan juga seperti Meri, yang menemani putrinya yang mungkin sudah merasa bersalah, atay tidak sama sekali?. . .
"Ayah, aku kangen Bunda, kapan Bunda pulang?" suara lirih gadis berusia 23 tahun itu, ia duduk bersandar di dada bidang milik ayahnya. Gadis itu terus seperti itu selama seminggu, semenjak kepergian Meri dan Luiz, Fernan hanya bisa berkomunikasi lewat telepon, karena satu hal lainnya adalah ke bencian Fahira yang amat besar pada sosok Luiz, yang tak lain adalah adiknya sendiri.
"Ayah ngga tahu, udah sana kamu istirahat, kamu juga perlu istirahat, kan?" ucap Fernan, Fahira menggeleng, gadis itu tetap pada posisinya, dia juga tidak berniat untuk beranjak darintempatnya.
"Apa aku salah, sama Bunda?"
Pertanyaan yang seharuanya tidak ia lontarkan, tapi meluncur begitu saja. Dengan sedikit kesal Feenan menjauhkan kepala putrinya dengan perlahan, lalu berdiri dari tempatnya.
"Kenapa Yah?" tanya Fahira. Fernan diam, pria itu membelakangi Fahira karena kesal mendengar ucapan Fahira yang haruanya tidak di pertanyakan itu.
"Harusnya kamu berpikir untuk tidak melukai ibumu sendiri, sebenci apapun kamu pada adikmu, itu sudah dengan otomatis akan melukai hati ibumu, untuk apa kamu bertanya lagi, kalau kamu sudah tahu kesalahanmu? Fahira, Ayah hanya ingin memiliki putri yang baik dan bijak dalam bersikap, bukan putri yang sombong dan angkuh seolah ia merasa benar sendiri. Ayah tidak mau kamu terjerumus dalam lubang yang sangat dalam, sehingga kamu sulit untuk kembali ke dataran tinggi." ucap Fernan panjang. Dia menoleh sedikit pada Fahira.
"Jika kamu putri Ayah, maka lakukan kewajibanmu sebagai yang seharusnya, kamu juga wanita, bukan?" katanya, lalu ia melangkah pergi meninggalkan Fahira yang masih duduk diam di tempatnya.
"Ayah?" panggil Fahira lirih.
"Bahkan seorang pemuda, mana pun tidak akan kuat menghadapi sikap wanita egois, seperti aku?"
"Apa Ayah marah? Apa aku juga salah bicara padanya?"
Pertanyaan itu tergelincir di kepalanya, dia bangkit, lalu berlari kecil menuju kamar adiknya. Dia membuka pintu kamar berwarna cokelat, yang bertuliskan nama sang pemilik kamar. Luiz F. dengan susunan huruf dari ukiran kayu.
Dibukanya pintu itu, lalu ia melangkah masuk kedalamnya. Dihirupnya harum bau mint yang menyengat masuk kedalam indra penciumannya.
"Kamarnya rapi banget, Luiz, kah yang ada di sini? Apa iya aku salah dengan caraku?" gumam Fahira, yang melangkah menyusuri kamar Luiz, di lihatnya sebuah foto yang terbingkai rapi di atas meja belajar Luiz. Di ambilnya foto itu lalu ia mengusapnya perlahan.
"Kamu itu menggemaskan, tapi kenapa setiap kali aku melihatmu di depanku, rasanya darahku mendidih ingin melakukan sesuatu, aku tidak tahu," gumamnya perlahan, lalu ia duduk di kasur berwarna abu-abu itu.
"Apa kamu menanamkan kebencian juga padaku? Apakah aku ini terlalu menyeramkan untukmu, sampai kamu melihatku begitu takut?" tutur gadis itu, ia terus mengusap foto Luiz yang tersenyum cerah di sana.
Gadis itu membalik bingkai foto yang ia pegang, lalu ia menemukan sebuah tulisan yang sedikit berantakan di sana, tulisan milik Luiz yang amat sangat usang.Mata bulat Fahira membelalak tak percaya dengan apa yang ia lihat, tulisan itu benar-benar tulisan adiknya sendiri.
Luiz, sayang ayah, sayang Bunda, sayang kak Eros dan kaka Fah. Love you 😊
"Dasar idiot, aku yang membencimu kenapa kamu masih menyayangi aku, yang jelas-jelas tak ingin kamu hidup?" gerutunya, lalu ia peluk bingkai foto itu, air matanya terjatuh.
"My Youth. Aku benci kamu Luiz, jangan sayang padaku, karena aku benci kamu." gumamnya lagi. Tak bisa ia pungkiri, hati kecilnya tidak bisa ia bohongi lagi. Kali ini dia benar-benar kehilangan sosok Bunda dan adiknya, meski ia benci ia juga rindu.
"Bunda, aku minta maaf, cepat kembali Bunda." gumaman itu tak hentinya ia lontarkan, sampai ia berbaring diatas tempat tidur adiknya pun foto itu ia bawa dalam pelukannya.
"Aku ngga mau ketemu Luiz, dia bodoh, dia idiot, dia menyebalkan, dia menyeramkan. Bunda!" ucapnya lirih, matanya terpejam begitu saja. Tak tersadar olehnya Fernan ada di balik pintu cokelat itu, pria itu menatap pilu pada putrinya, hatinya terenyuh ketika ia tahu, kalau putrinya masih belum bisa menerima putra bungsunya. Entah harus bagaimana lagi, Fernan mengusap wajahnya kasar, lalu di tutupnya pintu itu dan membiarkan putrinya tertidur lelap di dalam sana.
Bahkan, seorang pemuda yang sempurna saja, tidak mampu memberikan kasih yang lebih besar dari pada pemuda yang tidak berakal.
Nah, kan, sudah up nih, komentar dan Votenya yang banyak ya, supaya aku semangat nulisnya 😁😁😁
KAMU SEDANG MEMBACA
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]
General FictionJika penyesalan datang hanya di akhir, lalu untuk apa menyempurnakan maaf, jika terus di hantui dengan rasa bersalah. ~Fahira Aveza Fernando~ Dunia baru untuk Veza, dan dunia yang rumit untuk seorang Luiz Fernando, dengan keterbatasannya, dia menjad...