Antonio Fernando. Namanya terkenal, pria bertubuh bagai model, memiliki istri yang manis dan 3 orang anak yang cantik dan tampan. Namanya memuncak di kalangan kolega besar. Antonio, siapa yang tidak sangka, dia hanya seorang pemuda biasa di masanya, pekerja keras, meski ia adalah seorang anak dari kalangan atas. Dia menikahi Merriatama, gadis biasa yang memang luar biasa mampu merenggut hatinya dan juga cintanya.
"Aku tidak bisa berhenti menyebut namamu, dalam doaku. Mer, aku hanya ingin kita membina rumah tangga, apa kamu mau menikah dengan aku, Antonio, aku bukan lelaki manja seperti yang orang katakan. Aku hidup dengan kerja kerasku."
Butir bening itu kembali jatuh di pipi Meri, dia masih ingat betapa indahnya ketika Fernan berjuang untuk mendapatkan dirinya. Fernan yang selalu menemaninya di masa sulit menghadapi cemooh orang-orang di luar sana.
"Biarkan mereka berkata apa, karena mereka tidak mampu menjadi sosok kuat seperti dirimu. Mereka hanya banyak bicara, tidak mengerti apa-apa."
Kekuatan itulah yang selama ini Meri pegang, sampai ia tumbang diwaktu yang salah. Dia menangis sejadinya dalam pelukan Fernan. Saat di mana Luiz mengalami kejang di usia belia, dia bahkan putus asa akan merawat putra mereka. Pikiran kotor itu melesat di dalamnya.
"Kita berikan pada panti asuhan saja."
Satu kalimat laknat, yang selalu mereka rutuki. Dan saat ini Meri mengakuinya, kalau saja malam itu ia melakukan perbuatan menjijikan itu, dia benar-benar ibu yang kejam, ibu yang saka seperti wanita jalang diluar sana, yang membuang buah hatinya demo ketenaran serta nama baik suaminya.
Meri menatap putranya yang sudah tertidur pulas disebelahnya, mata Panda itu selalu menjadi kunci, kalau ia tidak akan melakukannya lagi.
"Bunda janji, Bunda akan tetap memperjuangkan kamu, Sayang. Bunda ngga bisa jauh dari kamu, Eros yang jauh di sana, Bunda juga rindu tapi kamu, jika bukan Bunda dan Ayah, apa kamu bisa menjalani hidup yang menyebalkan ini? Bunda hanya ingin kamu memahami sedikit sifat kakak perempuanmu, tapi tetap saja, Fahira akan sulit menerimamu." gumam Meri, tangannya terus mengusap wajah lugu putra bungsunya.
"Bu, kita mau ke mana ya?" tanya supir taksi, Meri pun memberi jawabannya dengan yakin. "Sukabumi." katanya. Taksi itu melaju, sesuai perintah penumpangnya.
Sepanjang jalan, Meri hanya berdiam, menatap keluar jendela, menatap langit yang mulai terik.
Luiz yang tadi sedang tidur pun, anak itu bangun, wajah kusutnya melihat kesekitar, lalu tanyannya menyentuh lengan wanita disebelahnya.
"Bu-n-da, ha-us," katanya.
Meri menoleh, ia melihat putranya yang lemas, lalu mengysap wajahnya perlahan.
"Kita mampir sebentar, kan bentar lagi sampai, tahan sedikit ya," tutur Meri, perlahan ucapannya di tangkap oleh indra penglihatan putranya, lalu anak itu mengangguk.
"I-ya," hanya itu, sejenak Meri bisa bernapas lega, semakin hari perkembangan putranya sudah meninggat, meski proses penyerapannya lama, Meri tidak peduli, yang ia ingin, Luiz tetap mendapat pendidikan yang setara dengan anak normal lainnya. Dia juga rela mengorbankan apapun, asalkan anaknya bahagia.
"Sudah sampai nih, kita mau lewat mana, Bu?" tanya supir taksi itu.
"Di sini aja, Pak," kata Meri, lalu ia memberikan beberapa lembar uang kertas seratus ribu, barulah ia dan Luiz turun.
"Bu-n-da, ha-us," ucapnya lagi, anak itu tidak akan berhenti bicara jika keinginannya belum terkabul.
Taksi itu melaju usai Meri dan Luiz turun. Meri melihat sekitarnya, ia melangkah, tak lupa lengan putranya selalu ia gandeng.
"Kita makan di sana, Luiz laper, kan?" kata Meri, anak itu diam. Tapi Meri tetap membawanya pada sebuah tempat makan yang ada di Sukabumi.
"Jangan sedih, Bunda, ngga mau mata ini, menunduk." ucap Meri, yang mengusap kedua kelopak mata putranya perlahan. Lalu menariknya kedalam pelukan.
"Kita nginep di rumah Om Key, ya. Ada Eyang juga, mau ya," kata Meri, ia masih memeluk tubug kurua Luiz.
"Bunda salah, Bunda membiarkan kamu menghadapi amarah Fahira, maafin Bunda, harusnya ngga begini." batin Meri.
"Kak, Mei!" panggil seseorang dari sebrang jalan. Meri menoleh, tanpa melepaskan pelukan putranya. Dia melihat sosok Key di sana. Pria itu melambai.
"Om, Key, ke sana yuk," tawar Meri, tapi Luiz enggan untuk bergerak, ia berdiri di sebelah Meri, seletah melepas pelukannya.
"Luiz? Ada apa ?" tanya Meri, anak itu diam. Jemarinya di genggam oleh Meri, terasa dingin.
"Bunda mau lihat senyum Luiz, apa Bunda salah, sama Luiz?" pertanyaan itu meluncur begitu saja. Luiz tetap menunduk, jemarinya yang di genggam Meri pun ia lepas, anak itu melangkah sedikit mundur.
"Luiz, ada apa, Nak?" tanya Meri, khawatir dengan tanda-tanda jika putranya mulai berdiam dan tak mau di sentuh.
"Anaknya, kenapa Bu?" bahkan, penjual yang ada di sekitar juga bingung, dengan sikap Luiz yang tiba-tiba.
"Ngga apa-apa kok," sahut Meri, dengan terpaksa Meri menggenggam tangan Luiz meski anak itu menolaknya dengan keras.
"Luiz? tenang, Nak." ucap Meri, ia membawa putranya sambil merangkulnya dengan erat, meski beberapa kali anak itu berontak, untung saja suasana jalanan tidak seramai biasanya. Ketika sampai di tempat Key parkir pun, Luiz terus berontak.
"Ada apa Kak Mei? Ayo naik deh," tawar Key, tidak. Luiz tidak bisa menuruti perintah yang lain. Otaknya sudah bekerja, anak itu berontak. Detak jantungnya berdegup jauh lebih cepat.
"Luiz? Nak, tenang." ucap Meri, Key yang ada di sana pun ikut membantu memasukan Luiz ke dalam mobil. Lalu beberapa menit kemudian ia melajukan mobilnya.
. . .
"Bu-n-da, Bu-n-da," panggilan itu terus menggema di ruangan bernuasa abu-abu itu. Persis seperti kamarnya yang ada di Jakarta.
"Iya, Bunda di sini, temani Luiz, ada Eyang," kata Meri, ketika di perjalanan tadi, tubuh Luiz terguncang. Perihal ingatannya yang kembali memutar kejadian saat ia masih di rumah.
"Luiz takut, Luiz takut Bunda."
Matanya berbicara suatu kebenaran akan jiwa yang terluka.
Dengerin supaya ingat kalau ibu kalian selalu sayang, karena kasih yang abadi bukan cuma dari orang orang yang datang lalu pergi, tapi ibu yamg berjuang meski anaknya nakal tak mau menurut. Selamat menikmati.
Huaaa, udah 20 part nih, lanjut jangan? Komentarnya yang banyak ya, ramein juga Votenya 😁😁😁😁
KAMU SEDANG MEMBACA
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]
General FictionJika penyesalan datang hanya di akhir, lalu untuk apa menyempurnakan maaf, jika terus di hantui dengan rasa bersalah. ~Fahira Aveza Fernando~ Dunia baru untuk Veza, dan dunia yang rumit untuk seorang Luiz Fernando, dengan keterbatasannya, dia menjad...