"Gak. Bintang pergi bareng gue, pulangnya juga harus bareng gue."
Aku dikagetkan dengan jawaban Dave untuk Bang Asa.
"Kenapa? Biar gue aja." keukeuh Bang Asa.
"Maaf ya, Kak. Bukan maksud gue gak sopan. Tapi Bintang tetap pulang bareng gue."
Aku yang melihat perdebatan mereka menjadi bingung, hanya sekedar pulang bisa se-merepotkan ini.
"Emm.. Dave," Akuu memanggilnya, dan Dave langsung menoleh ke arahku.
"Apa kata Bang Asa kayaknya bener. Biar aku pulang bareng Bang Asa aja, kan kami satu kos. Terus, aku gak enak kalo kamu anter jemput." Ujarku memberi pengertian.
Dave menatapku datar. Ah, apa dia marah cuma gara-gara masalah sepele seperti ini.
"Oke, tapi untuk besok lo pergi bareng gue lagi, Bin. Gue duluan."
Belum sempat aku menolak ajakkannya, Dave melangkah pergi tanpa menoleh ke arah Bang Asa sedikit pun. Tapi, ya sudahlah. Kalau dia datang menjemputku besok tidak apa-apa.
"Ya sudah Bang, yuk kita pulang." Ajakku. Ternyata Bang Asa hanya diam memperhatikanku. Kumohon jangan salah tingkah, Bintang!
Aku dan Bang Asa melangkah menuju parkiran kampus, semua motor masih lumayan banyak—karena baik panitia maupun Mahasiwa baru memarkirkan motornya disini. Aku juga tidak melihat motor Dave. Mungkin sudah pulang.
"Dek, temen lo itu kenapa sih?" ujar Bang Asa yang sedang menghidupkan mesin motornya.
"Maksudnya Dave?"
"Iya, kayaknya dia gak suka sama gue. Apalagi pas gue deket sama lo." Ujar Bang Asa. Aku yang mendengarnya hanya diam.
"Lo tahu, sikapnya yang tadi kayak cowok cemburu lihat pacarnya pulang bareng sama cowok lain. Hahaha.." Lanjut Bang Asa ngasal. Ketawa garingnya itu membuat aku sedikit sebal. Apa maksudnya?
"Ish, apaan sih Bang?! Ngasal kalo ngomong." Ujarku dengan nada kesal. Mana mungkin Dave sama seperti aku. Dave itu tampan. Ya aku jujur deh. Dave Memiliki tubuh yang ideal dan bagus, dan dari segi manapun ia tidak terlihat seperti pria penyuka sesama. Ya mungkin.
"Kalo beneran Dave suka sama lo, gimana?" tanya Bang Asa dengan nada menggoda.
"Bang Asa!! Ayo pulang! Tahu gini enak aku pulang bareng Dave daripada diusilin terus kayak gini." Aku teriak marah. Bukannya takut, Bang Asa malah tertawa semakin kencang.
"Ciee yang pengen pulang bareng doinya, aduh sampe pipinya merah. Malu nih yee.."
Tidak ada pilihan lain, walaupun Bang Asa lebih tua dariku tetapi aku harus melakukannya agar Bang Asa berhenti menggodaku. Aku pun menjewer telinga Bang Asa kuat-kuat.
"E-eh aduh a-aduhh.. Aduh sakit dek. Ampun-ampun.." Ucap Bang Asa memelas.
"Gak. Bang Asa udah jahil ke aku. Enak kan?" Aku pun tertawa puas melihat Bang Asa memelas memintaku untuk melepaskan jewerannya.
"I-iya iya.. Ampun dek, ampun. Oke oke, gak lagi deh, gak lagi."
Aku pun melepaskan jeweran telinganya dan tersenyum melihat telinga Bang Asa yang memerah. Bang Asa menatap telinganya di kaca spion motornya. Terlihat wajah sebalnya saat berkaca.
"Sialan lo, dek. Sampe merah gini." Ujar Bang Asa mengelus-elus telinganya.
"Siapa suruh usil."
"Iya deh, ya sudah naik. Mau pulang kan?" aku mengangguk dan menaiki motor Bang Asa.
Wangi tubuh Bang Asa sangat jelas di indera penciumanku. Sangat menenangkan.
Selama perjalanan Bang Asa fokus menyetir dan aku hanya memandangi jalanan yang dihuni oleh banyak pengendara mobil dan motor. Untungnya tidak macet, jadi Bang Asa membawa motornya dengan santai.
*****
Hari ini aku ospek lagi, dan diwajibkan untuk menginap di kampus. Aku tidak tahu kalau harus sampai menginap, rasanya tidak mau ikut. Tetapi, sudahlah. Kapan lagi aku bisa berkumpul dan melihat banyak orang dikampus nanti.
Aku keluar kamar dengan tas dan segala perlengkapan ospek. Aku mengunci kamarku, dan melihat kamar Bang Asa sudah terkunci.
'Sudah berangkat duluan ternyata.' Pikirku.
Semalam setelah aku pulang bersama Bang Asa, ia masih saja menggodaku dengan menyebut nama Dave. Saat itu juga aku kesal dan ngambek. Bang Asa berbicara kepadaku sama sekali tidak kutanggapi, dan ia menawarkan untuk menjewernya kembali agar aku berbicara. Ku turuti kemauannya, dan berakhir telinga Bang Asa memerah. Sangat merah. Aku yang melihatnya hanya tertawa, sedangkan Bang Asa menekuk wajahnya kesal.
Aku membuka pintu kosan ku, dan betapa terkejutnya saat motor Dave dan juga dirinya berada didepan kosanku. Ternyata dia benar-benar menjemputku.
"D-Dave? Sudah lama disitu?"
"Ah, nggak kok. Baru juga sampai." Jawabnya sambil tersenyum.
Aku mendekatinya, wajahnya terlihat sangat segar pagi ini. Benar-benar sangat tampan.
"Dave, kenapa kamu repot-repot jemput aku sih?" Tanyaku heran. Ya, aku kira itu hanya berlaku untuk kemarin. Dan ucapannya semalam benar-benar nyata.
"Emang lo mau naik apa kesananya? Motor? Emang ada?" Tanya Dave balik. Aku hanya menggeleng.
"Naik taksi atau angkot juga udah ada?" Tanyanya lagi. Aku juga menggeleng kembali.
"Sebagai anak baik, ganteng, keren, dan juga mempesona. Gue itu harus membantu orang yang sedang membutuhkan pertolongan." Ujarnya—sok cool. Aku yang awalnya tersanjung menjadi kesal sendiri saat Dave berbicara seperti itu.
"Cih, pede banget sih." Ujarku sinis yang di balas dengan kekehannya Dave. Kalau boleh jujur, tawa yang di buat Dave sangat seksi. Membuat pikiranku yang tidak-tidak.
"Ya sudah, ayok naik. Nanti telat." Aku mengangguk dan naik diatas motor sport hitamnya itu.
Aku sangat benci motor seperti ini, karena dibagian belakang tidak ada pegangan. Dan aku harus memegang pinggang Dave agar tidak terjatuh. Ditambah posisi duduk yang sedikit menungging membuat tubuhku selalu bertabrakan dengan tubuh belakang Dave. Aku bisa merasakan tubuh Dave yang padat dan juga lebar. Sangat pas untuk dipeluk, tetapi aku tidak semesum itu. Ingat!
"Dave, jangan ngebut-ngebut ya." Kataku sedikit berteriak.
"Kalo gak mau jatoh pegangan. Peluk juga boleh." Aku bisa mendengar tawa Dave dari depan. Langsung saja aku mencubit pinggangnya karena kesal.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
BINTANG [END]
Teen Fiction'Persis seperti nama kita, Bintang dan Angkasa. Kita berada di tempat yang sama, namun tidak untuk bersatu.' (Adegan 18+) Upload: 1 Jul, 2019 -Kiki