13

4.6K 359 8
                                    

"Bintang? Ngapain lo pelukan disini?" Tanya Bang Asa mendekatiku bersama Cantika, pacarnya.

"Idih, lo homo ya? Wah nggak bener nih. Harus pada tahu nih semua orang." Ujar Cantika mendelik tidak suka.

"Kamu jangan macem-macem! Sekarang kamu pergi dulu, biar aku yang tanya." Ujar Bang Asa tajam. Setelah itu Cantika pergi dan masih menatapku tajam. Entah mengapa semua orang yang melihatku seperti pandangan tidak suka.

Apakah aku seburuk itu?

"Lo apain Bintang?" Tanya Bang Asa, lebih tepatnya kepada Dave.

"Gue disini cuma nenangin Bintang, dia nangis-"

"Gue bilang lo apain Bintang?" Tanya Bang Asa lagi dengan suara sedikit meninggi. Aku menatapnya heran, kenapa Bang Asa marah?

"Santai bro, kalo gak tahu masalah jangan marah-marah. Udah gue bilang kalo gue lagi nenangin Bintang." Jawab Dave santai, dan bisa kulihat Dave sedang menahan amarahnya.

"Kenapa lo nangis Bintang? Kenapa juga peluk dia?"

Aku bingung harus menjawab apa, kalau aku menjawab yanh sejujurnya yang ada aku bisa dicap pria lemah karena menangis diejek orang.

"I-itu, aku ta-tadi.." Aku bingung. Aku harus bagaimana ini?

"Ak-"

"Ada kecoa dibaju Bintang tadi, Bintang ketakutan dan dilihat banyak orang. Makanya dia kesini meluk gue, Bintang malu." Alasan yang sangat memalukan! Kenapa Dave memberi alasan seperti itu?

Aku menatap Dave tajam, tetapi yang ditatap hanya diam tidak memberi respon. Huuh..

"Kalo begitu kalian balik lagi ke kelompok masing-masing. Ini sudah mau mulai acara." Jawab Bang Asa datar.

Ia menatapku sekilas, dan kembali menatap Dave dengan tajam. Setelah itu berbalik dan meninggalkan kami berdua.

"Apa-apaan sih? Kasih alasan gak masuk akal. Kamu tahu, pasti Bang Asa nge-cap aku sebagai cowok lemah cuma takut sama kecoa." Aku kesal dan menatap Dave sebal.

"Daripada aku ngasih alasan yang sebenarnya, lebih malu yang mana?" Tanya Dave.

Benar sih, lebih bagus alasan seperti tadi. Kalau aku jujur, aku tidak tahu reaksi Bang Asa terhadapku.

"Emm, soal pelukan tadi.. Maaf Dave. Aku reflek." Aku sedikit malu mengucapkan itu. Sangat memalukan, bisa-bisanya aku menangis dan memeluk Dave secara tiba-tiba.

"It's oke. Aku ngerti kok kamu lagi butuh seseorang untuk dipeluk. Dan buat anak-anak barusan, aku minta maaf. Aku pastikan mereka nggak akan ngejek kamu lagi." Ujar Dave tersenyum lembut kepadaku.

Aku bergidik geli, senyuman Dave sangat menawan dan sangat tampan. Aku juga merasa ada yang aneh dalam ucapannya. Ya, dia mengubah panggilan antara 'lo-gue' menjadi 'kamu-aku'. Tetapi itu bukanlah masalah besar, yang menjadi masalahnya sekarang sikap Dave sangat perhatian dan lembut kepadaku membuatku heran. Aku bukanlah orang yang tidak peka atau bodoh untuk mengartikan sikap yang Dave berikan untukku. Tetapi, jika memang semua yang aku pikirkan itu benar, aku harus menjawab pertanyaan itu dengan cermat.

"Ya sudah, yuk balik ke tenda." Ajak Dave, aku mengikutinya dari samping.

"Terima kasih ya, Dave."

"Untuk?"

"Hmmm, entahlah. Aku cuma mau berterima kasih doang." Aku juga reflek saat mengucapkan kata 'terima kasih'.

Dave tersenyum. "Kamu tahu, bisa dihitung jari kamu panggil nama aku 'Dave'. Rasanya gimana gitu.." ujar Dave dan tertawa pelan.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya itu.

*****

Author POV

Seseorang bersembunyi dari balik dinding yang tidak jauh dari taman dimana Bintang dan Dave sedang berbicara. Seharusnya ia ingin meminta penjelasan kepada Cantika, pacarnya itu yang beberapa hari ini tidak bisa dihubungi. Tetapi ia tertegun saat matanya menatap dua pria berpelukan. Ia juga melihat wajah manis Bintang yang memejam dan mengeluarkan air mata. Di saat ia mendapatkan sebuah pernyataan dari pertanyaan yang ia lontarkan, ia merasa tidak puas. Itu bukanlah jawaban yang tepat dan jujur.

Angkasa menatap lekat dua pria itu, bisa dilihat wajah Bintang tersenyum dan memerah yang tersipu malu, sedangkan Dave tengah menatap Bintang dengan tatapan penih minat. Atau bisa dikatakan tatapan cinta?

Seharusnya Angkasa biasa saja menatap pemandangan seperti ini, karena ia sering melihat adegan gay bermesraan di kosannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Aldi dan Nathan. Tetapi ia merasa suatu yang meledak-ledak ditubuhnya, seperti kesal dan marah. Tetapi ia juga bingung kenapa ia harus kesal dan marah.

'Apa iya Bintang sama seperti Bang Aldi dan Nathan? Ya kali penghuni kosan gue maho semua?'

'Kenapa gue kesal lihat wajah Dave natap Bintang seperti itu? Wah gue sudah gila ini.'

Angkasa terus membatin, dan membuatnya semakin kesal. Ia putuskan untuk kembali bersama rombongan temannya daripada melihat dua pria yang tengah berbicara ditaman itu.

*****

Bintang POV

Acara malam sudah dilaksanakan, dan semua mahasiswa diperintah untuk menuju tenda masing-masing karena waktu sudah begitu larut. Aku yang ingin tidur tetapi tidak bisa tidur, aku bercampur dengan anak-anak satu kelompokku. Tentu saja pria dan wanita dipisahkan.

"Bintang, kenapa belum tidur?"

Itu Stefan, teman satu kelompokku. Baru kali ini ia menegurku. Ia juga sama seperti aku, maskudnya satu prodi denganku. Tetapi ia sangat tertutup dan jarang sekali berbicara, membuatku enggan untuk ngobrol atau berbasa basi dengannya.

"Eh, Stefan! Aku belum ngantuk nih. Hehe.." Ujarku memberi senyum padanya.

Stefan menggunakan kacamata mines yang sangat cocok dan pas dengan wajah tampannya. Jika kalian berpikir anak berkacamata itu culun, berbeda dengan Stefan. Stefan memiliki tubuh sangat bagus, hampir mirip seperti Bang Asa. Warna kulitnya sangat putih bersih, mungkin karena keturunan orang Chinese ia bisa memiliki tubuh putih itu. Matanya sipit, tetapi hidungnya sangat mancung. Bibirnya titis namun merah.

"Sama." Ujarnya.

Ia mendekatiku dan duduk disampingku, sekarang aku tengah duduk di luar tenda. Karena berada didalam tenda sangat panas.

"Sore tadi aku lihat kamu jalan kedepan arah ke taman kampus. Terus disusul sama cowok. Kamu kenapa Bin?" Tanya Stefan, aku menatapnya kaget. Ternyata dia memperhatikanku.

"Eh? K-kamu lihat ya?" Tanyaku. Stefan hanya mengangguk.

"Nggak apa-apa kok." Jawabku.

"Beneran?" tanyanya lagi dengan nada memastikan.

"Iya beneran. Emang kenapa Fan?"

"Gak apa-apa sih, lucu aja lihat wajah kamu kayak mau nangis. Terus cowok yang satunya kayak cemas gitu." Stefan menutup mulutnya agar tidak tertawa kencang. Aku melihat cara tertawa Stefan seperti anak kecil. Lucu.

Aku dan Stefan kembali bercerita ini dan itu dengan suara pelan. Stefan tamatan dari SMA unggulan di kota ini, bahkan ia masuk di kampus ini tanpa tes. Dapat dipastikan kalau Stefan sangat pintar. Stefan juga memang orang Chiese—tebakanku benar, dan ia anak tunggal. Saat aku tanya apakah dia sudah memiliki pacar atau belum, dia hanya diam. Hm, aku tidak mau menganggu privasinya.

Tak terasa aku dan Stefan mengantuk, dan kami putuskan untuk tidur.

TBC...

BINTANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang