15. MENGINAP

613 81 5
                                    

Setiap manusia pasti memiliki rasa takut. Itu hal yang wajar, bukan?



SUARANYA dari samping rumah. Aku cek dulu ke sana.” Beryl mulai berjalan mengendap-endap mendekat ke jendela yang sudah tertutup oleh gorden.

Jangan putusin telfonnya.

“Aku sama telfon gak ada hubungan kok, Kak. Mana bisa aku putusin,” ucap Beryl sedikit berbisik.

Sekilas terdengar suara decakan dari seberang sana. “Hati-hati.

Beryl menatap ponsel dalam genggamannya dan mengangguk, meskipun tau Aruna tak akan melihat bila ia sedang mengangguk.

Beryl membuka sedikit celah pada gorden jendela dan mengintip suasana di luar yang sudah gelap. Hanya ada tanaman-tanaman kesayangan Mamanya.

“Gak ada siapa-siapa, Kak.”

Tunggu…

Sepertinya Beryl melihat sesuatu.

Beryl menutup cepat gorden jendela dan jatuh terduduk di lantai. Jujur, Beryl benar-benar takut. Apapun itu yang ada di luar rumahnya, ia percaya bahwa ia sedang dalam bahaya. Malam ini Beryl percaya, ancaman penguntit itu tidak main-main dengannya.

“Kak... ” lirih Beryl, suaranya parau.

“Dia kasih clue lagi.”

Satu hal yang Aruna yakini, gadis yang berbicara di telepon dengannya kini sedang menangis.

***

Di tepi sebuah kolam ikan tampak seorang gadis dengan kerudung instan warna hitam terdiam menatap ke arah bawah. Tatapannya ke arah puluhan ikan mas di bawahnya dengan pandangan kosong.

“Beryl?”

Beryl menoleh, tersadar dari lamunannya. Ditatapnya wanita cantik yang kini duduk di sebelahnya. “Tante?”

Luna tersenyum menatap kolam di bawah mereka. “Ikannya kenapa? Ganteng ya? Sampe dilihatin terus kayak gitu. Kan masih gantengan anak-anak Tante loh, Ber.”

Luna terkekeh pelan, begitu pula Beryl.

Seratus buat Tante Luna, hihi.

Diam-diam Luna mengulum senyum, gadis yang sejak pagi tadi murung akhirnya mau tertawa. Ya, sejak insiden tadi malam, Luna berinisiatif mengajak Beryl untuk menginap di rumahnya. Ia sama sekali tak merasa keberatan dengan kehadiran Beryl. Justru ia merasa senang bisa merasakan seperti memiliki anak perempuan.

Tadi pagi ia menjemput Beryl yang kebetulan sedang demam. Setelah beberapa pertimbangan akhirnya Beryl setuju. Meskipun gadis itu tidak tahu sampai kapan ia akan menginap di rumah Luna, apalagi satu atap dengan Aruna dan Haydar.

“Mau tau sesuatu?”

Beryl mengangguk.

Luna tersenyum menatap kolam ikan di bawah mereka. “Dulu waktu Aruna dan Haydar masih kecil, mereka pernah berantem di sini. Kamu tau gimana lanjutannya?”

Beryl menggeleng.

“Mereka sama-sama kecebur kolam ikan ini,” ujar Luna dengan senyum geli.

Beryl menatap Luna terkejut. “Kecebur kolam ini, Tante?”

Luna mengangguk beberapa kali. “Akhirnya mereka berantem. Dan bahkan beberapa ikannya mati karena didudukin mereka berdua.”

Mendengar perkataan Luna membuat Beryl tak bisa menahan tawanya, begitu pula Luna. Kedua perempuan itu tertawa, membayangkan kedua anak kecil yang bertingkah seperti itu pasti terlihat sangat menggelikan.

Bisa Beryl bayangkan betapa menggemaskannya Aruna saat masih kecil dulu. Pasti wajah anak-anak versi laki-laki itu tak jauh berbeda dari sekarang, tampan dan manis.

Kalau Haydar…

Ah, sudah bisa Beryl bayangkan bagaimana wajah cowok itu. Ya meskipun juga tampan pasti air muka cowok itu saat menangis bisa-bisa membuat Beryl tertawa ngakak.

Astagfirullah kelepasan…

“Tante mau bikin kue, kamu mau ikut bantu?” tanya Luna setelah tawa mereka mereda.

Beryl mengangguk semangat. Tidak tahu kenapa ia merasa sudah sangat percaya pada Luna, meskipun mereka baru saling mengenal. Bagi Beryl, Luna sudah ia anggap seperti tantenya sendiri. Apalagi perlakuan Luna yang sebenarnya juga menginginkan anak perempuan dan menganggap Beryl seperti anaknya sendiri, membuat gadis berkawat gigi itu merasa disayangi.

Sedangkan di ruangan penuh lukisan yang tak jauh dari kolam ikan tadi, dua orang laki-laki saling diam menatap beberapa kertas warna-warni di hadapan mereka.

Haydar melipat kedua lengannya di depan dada dan menatap kakaknya heran. “Bang, sebenernya apa alasan lo melibatkan diri di teka-teki ini?”

Aruna balik menatap Haydar. “Lo sendiri? Apa alasan lo?”

Haydar berdecak. “Orang nanya kok balik nanya,” cibir Haydar yang hanya dibalas senyum miring Aruna.

Dahi Haydar mengerut, cowok itu kembali menatap kakak laki-lakinya yang tampan nan pendiam itu. “Apa motif dia kirim boneka berdarah ke kawat gigi tadi malem? Bukannya sebelum-sebelumnya dia kirim clue secara damai?”

Aruna hanya diam menatap kertas-kertas di meja hadapan mereka.

Haydar mengikuti pandangan Aruna. Beberapa detik berikutnya cowok itu mengacak rambut frustasi. “Pusing gue, Bang.”

Haydar beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ruangan dan menuju kamarnya. Baru satu detik merebahkan diri di tempat tidur, benda pipih di saku Haydar bergetar. Sekilas dahinya mengernyit menatap nama yang tertera di layar ponselnya. Ia angkat panggilan itu dan mendekatkan ke telinganya. Seseorang di seberang sana pun mulai mengatakan sesuatu.


Entah apa yang orang itu katakan hingga Haydar otomatis bangun dari rebahannya dengan wajah terkejut.

“Apa!?”

Di sisi lain, di ruangan penuh lukisan tadi tampak Aruna dengan ponsel di dekat telinganya. Laki-laki itu juga tengah berbicara dengan seseorang di seberang sana. Entah apa yang mereka bicarakan.

Aruna tersenyum samar.

“Bagus.”

To be continued...

Best Regards,
alfyixx

Celandine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang