14. KUNCI

608 83 0
                                    

Bukan soal perasaan, tetapi sebuah akhir yang meragukan.
                             


LANGKAH Beryl tertahan tepat di depan pagar rumahnya. Diliriknya gemas amplop hitam di tangan kirinya, kemudian beralih ke minuman soda di tangan kanannya.

Cukup.

Beryl meletakkan minumannya ke atas pagar rumah dan membuka masker di wajahnya. Rasa penasaran gadis itu sudah membucah, mencuat-cuat, menjadi-jadi. Gadis itu melepas headphone di telinganya dengan kasar lalu dengan tanpa perasaan ia membuka amplop hitam itu.

Ada sebuah kunci.

Beryl ternganga. “Kunci?”

Setelah ia lihat lagi ternyata ada sebuah lipatan kertas kecil di dalam amplop itu.

“Mungkin nanti kamu akan membutuhkannya.”

Lagi-lagi Beryl ternganga.

“Lo tuh sebenernya siapa? Kalau ada masalah sama gue bilang langsung. Gak usah main tricky kayak gini deh.” Beryl menendang-nendang pagar rumahnya yang tak bersalah.

Beryl menggeram pelan. “Pengecut lo.”

Gadis yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya itu menoleh cepat saat semak-semak taman depan rumahnya tampak bergerak-gerak tak menentu. Diam-diam gadis itu menelan ludah pelan. Tapi cepat-cepat ia menepis pikiran buruknya. Gadis itu berkacak pinggang menatap semak-semak yang sesekali masih bergerak itu.

“Lo disini? Makhluk apa sih, lo? Lo manusia apa bukan, sih?”

Baru saat Beryl membuka pagar hendak menghampiri semak-semak, tangan seseorang menahan bahunya.

“Ber?”

Beryl berjengit kaget. “Amara?”

Thanks.”

Amara mengulurkan sebuah buku tulis bersampul kartun kucing orange milik Beryl. Beryl mengerjap beberapa kali. Namun tetap menerima uluran buku Amara. Gadis itu hanya bingung, sejak kapan Amara berada di situ? Beryl yang tidak sadar, atau Amara yang... ?

Ah, tepis pikiran konyol Beryl.

“Oma lo udah baikan?”

Amara mengangguk. “Gue balik dulu.”

“Hati-hati.” Amara sempat mengangguk kecil sebelum pergi dari sana dengan motornya.

Beryl menelan ludah susah payah. Sudah jelas Amara manusia dan Amara adalah sahabatnya. Ekspresi Amara yang misterius memang terkadang membuat bulu kuduk siapapun meremang melihatnya. Tapi mana mungkin ia takut dengan sahabatnya sendiri? Ia lirik lagi semak di dekatnya, tak ada pergerakan. Kemudian ia beralih menatap arah jalan Amara tadi.

Beryl menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ini genre hidup gue horror bukan, sih?”

Gadis berkawat gigi itu menepuk keningnya sendiri dan segera menuju pintu utama rumahnya, mengabaikan semak yang hanya meninggalkan tanda tanya. Baru selangkah kakinya masuk ke dalam rumah, Beryl kembali ke pagar depan rumahnya. Menutup pagar dan mengambil minuman sodanya. Kembali melewati semak tak acuh.

***

Berbeda halnya dengan seseorang di dalam semak di depan rumah Beryl. Ah, lebih tepatnya bersembunyi, atau menyembunyikan diri?

Haydar berdecak kesal, bersembunyi di semak-semak memang bukanlah ide yang bagus. Untung saja Beryl tadi tidak jadi memergokinya. Beberapa kali ia sampai harus menahan gatal di seluruh tubuhnya saat nyamuk-nyamuk betina dengan semangat empat lima menghisap darah manisnya. Tau saja kalau dia ini tampan nan manis.

Haydar mengendap-endap keluar dari semak-semak dan berlari menuju mobil yang lumayan jauh dari sana. Di dalam mobil, ia segera merogoh ponsel di saku celana seragamnya, menelepon seseorang di seberang sana.

***

“Berdasarkan para saksi, seminggu sebelum korban diculik, korban sempat mendapat terror misterius. Diduga...”

Kres!

Beryl melempar keripik kentang yang tak sengaja jatuh di lantai ke tembok dan memantul masuk ke dalam tempat sampah, Beryl tersenyum.

“Bikin parno aja, ih. Parah lo,” maki Beryl pada televisinya.

“Gak mungkin kan itu bule juga yang teror gue? Ah, ngaco. Mana mungkin itu bule saking kurang kerjaannya sampe terror warga plus enam dua modelan kayak gue gini. Jelas gak banget.” Beryl meletakkan jari telunjuk ke dagunya, berpikir. Sangat tidak mungkin bule dalam berita di televisi adalah orang yang sama dengan yang menerrornya.

Beryl meletakkan snack kentangnya dan meraih ponsel, menyentuh tombol telepon di salah satu nomor seseorang.

“Assalamualaikum, Kak.”

Terdengar balasan salam dari seberang sana.

“Kak, ada beberapa orang yang udah aku curigai.”

“Bagus.”

Beryl tersenyum miring. Meskipun respon Aruna selalu datar, tapi rasa-rasanya justru semakin membuat senyum Beryl mengembang. Sebenarnya bukan karena responnya, tapi karena gadis itu justru mengingat hal yang lain.

“Berapa orang?”

Beryl kembali ke dunia nyatanya. Baru saja gadis itu hendak membuka suara, teriakan dari seberang ponselnya sana membuatnya mengurungkan niat.

“Bun, tadi Haydar gak sengaja pecahin piring lagi.”

Beryl mendengkus kasar. Sudah dapat dipastikan siapa pemilik teriakan itu. Siapa lagi kalau bukan,

“Haydar!”

Belum Beryl sebutkan dalam hati pun namanya sudah lebih dulu diserukan tante Luna di seberang sana. Namun, sedetik kemudian Beryl membulatkan mata merasakan ada yang sedang memperhatikannya. Ditambah suara derap kaki yang terdengar kian menjauh dari rumahnya.

Beryl menelan ludah kasar.

Suaranya kian memelan, seolah tertelan udara. Jantungnya berdegup tak semestinya.

“Kak Aruna, ada seseorang di luar rumahku.”

To be continued...

Best Regards,
alfyixx

Celandine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang