Susah ya ngomong sama orang yang suka main teka-teki.
“ITU artinya, masih ada tiga clue lagi yang akan diberikan ke kamu.”Beryl menoleh menatap Luna yang merangkulkan tangan ke bahunya. Mereka sedang berjalan menuju parkiran di rumah sakit. “Tapi kenapa nama pengirimnya berbeda-beda?”
“Mungkin nama-nama samaran itu mempunyai arti yang sama,” kata Luna setelah beberapa saat sempat terdiam.
“Tinggal berapa lama waktu lo?”
Beryl mulai mengingat-ingat kapan sticky note pertama sampai padanya, sekitar satu minggu yang lalu. “Tiga minggu,” katanya menatap balik manik mata Aruna.
“Jangan-jangan dari musuh lo?” tebak Haydar yang sedang mendorong kursi roda Aruna. Beryl dan Luna hanya menatap datar cowok itu.
“Sudah, tidak usah dipedulikan.”
“Beryl, tadi bi Amy bilang sudah menghubungi Mamamu,” ujar Luna hati-hati saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Bi Amy sendiri sudah pulang sejak tadi. Selain Bi Amy hanya bekerja di rumah Beryl saat pagi hari saja, bi Amy juga harus bekerja di tempat lain. Beryl hanya diam menunggu kalimat selanjutnya dari wanita yang sedang mengemudi di bangku kemudi itu.
“Tapi telfonnya gak diangkat.”
Beryl terdiam.
Diamnya Beryl membuat ketiga orang di sana ikut terdiam. Luna yang sedang fokus mengemudi melirik sedih gadis itu melalui kaca kecil di atasnya. Sedangkan Haydar yang sedang bermain game di sebelah Luna diam-diam mem-pause dan ikut melirik Beryl lewat kaca di spion kiri.
Beryl yang duduk di belakang bersebelahan dengan Aruna hanya memalingkan muka menatap ke luar jendela, yang kebetulan di luar sana sedang hujan.
***
Sudah lebih dari setengah jam Beryl mengamati satu per satu stickynotes di tempat tidurnya. Namun, tak ada satupun clue yang bisa ia selesaikan.
Beryl menatap clue yang dulu ia temukan di dalam loker miliknya di sekolah. Ada satu hal yang ia bingungkan, bagaimana bisa pengirim teka-teki ini membuka loker miliknya? Padahal seingatnya, ia tak pernah memberi tau tentang password loker kepada siapapun.
Tak terkecuali Amara dan Kuker.
Beryl berpikir sejenak, apa itu artinya pengirim kertas-kertas itu juga salah satu siswa di sekolahnya? Lalu, bagaimana bisa orang itu membukanya? Apa ia meretas data dari pihak sekolah? Atau orang itu diam-diam mengintipnya saat membuka loker? Tiba-tiba Beryl ingat perkataan Luna saat di rumah sakit tadi.
“Dia pernah sakiti kamu secara tidak langsung? Seperti menerror dengan cara yang lain? Dengan sesuatu yang bisa menyakiti kamu misalnya? Menakutimu?”
Beryl menghela napas.
Tatapannya menatap luar jendela kamar yang terhubung langsung dengan pagar depan. Beryl mengernyit mendapati seseorang dan motor yang tak asing di depan rumahnya. Gadis berkawat gigi itu segera beranjak keluar kamar dan membuka pintu rumah. Tak lupa ia juga membukakan pagar rumahnya.
“Salim?”
Salim tersenyum. “Hai.”
“Ehm… duduk di teras aja ya?”
Salim mengangguk.
“Gue ambilin minum bentar.”
Beryl beranjak masuk ke dalam rumah dan mengambil minum untuk Salim setelah mempersilahkan cowok itu duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Beryl kembali dengan membawa dua minuman dingin di tangannya.
“Thanks.”
Salim menenggak minumannya. Cowok itu meletakkan sekotak tupperware bening berukuran sedang di atas meja. “Buat lo. Cepet sembuh ya.”
Beryl membuka kotak itu, kemudian meneliti bentuk cake yang sangat manis dengan hiasan krim yang sengaja dibentuk seperti karakter-karakter kartun di atasnya. “Lucu banget. Ini lo yang buat?”
Salim terkekeh pelan mendengar tebakan Beryl. “Justru kalau gue yang buat, gue gak akan berani buat kasih ke lo.”
Beryl tergelak.
“Makasih banyak, Lim.” Beryl kembali menatap kagum bentuk cake lucu di tangannya.
“Ternyata bener keyword-nya,” gumam Salim pelan sehingga tak begitu terdengar jelas di telinga Beryl.
“Apa, Lim?”
Salim menggeleng. “Gue denger hari ini lo juga gak masuk sekolah, ya? Lo sakit?”
“Gue cuma butuh istirahat.”
Beryl menatap Salim heran. “Lo juga gak masuk sekolah? Lo sakit juga?”
“Gue ada acara keluarga.”
Beryl manggut-manggut mengerti.
“Tadi Gusti bilang kalau tadi ada pembagian kelompok mapel biologi, dan yang gak masuk jadi satu kelompok. Gue, lo, Amara, Kuker. Kita satu kelompok,” ujar Salim.
Beryl tak bisa untuk tak terkejut. “Amara sama Kuker juga gak masuk sekolah?” Terlebih saat Salim memberikan respon dengan anggukan.
“Ya udah gue pamit, udah mau maghrib. Lo istirahat gih biar cepet sembuh.”
Beryl tersenyum. “Makasih.”
“Salim?”
Langkah Salim tertahan begitu mendengar panggilan Beryl, cowok itu membalik badan. Beryl berdeham sambil mengerutkan kening, menimang-nimang sesuatu yang hendak ia katakan.
“Hati-hati.”
Akhirnya kalimat itulah yang Beryl lontarkan. Sesaat cowok berkacamata itu menaikkan alisnya. Namun, pada akhirnya mengangguk juga.
“Keyword.”
Kata itu benar-benar tak bisa berhenti berputar di pikiran Beryl.
To be continued...
Best Regards <3,
KAMU SEDANG MEMBACA
Celandine ✓
Teen Fiction[Riddle × Teenfiction] Sejak hari terjadinya 'insiden kecil' di kantin saat itu, Beryl mendapat banyak teror aneh. Kertas clue yang selalu muncul tiba-tiba, bahkan di tempat yang tak terduga. Beberapa kali benda-benda aneh juga dikirim padanya. 'Pe...