23. UKS

530 66 2
                                    

Menjagamu adalah keinginanku.
Dan perasaan ini, di luar kendaliku.
                        


“LUNA sudah cerita semuanya ke saya. Kamu harus selalu hati-hati ya. Jangan sampai apa yang terjadi pada anak kami terjadi pada kamu juga. Anggap saja kami adalah keluargamu.” Beryl tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Terima kasih, Nak.”

Beryl tersenyum kecil menanggapi ucapan pria paruh baya yang duduk di seberangnya. Sedetik kemudian dengan perlahan keningnya mengerut. “Terima kasih untuk apa, Om?”

Pria paruh baya bernama Haris itu hanya tersenyum. Ia adalah suami Luna yang berprofesi pilot dan sedang mengambil jatah cuti. Jadi tidak heran kalau selama tinggal di rumah Luna, Beryl belum pernah bertemu dengannya.

“Beryl, ada Bi Amy.”

Mendengar suara Luna, Beryl bergegas pamit pada Haris dan menuju sumber suara.

***

“Aduh, Neng. Kenapa diberantakin lagi?”

Mba Kim memijit-mijit kepalanya yang semakin pusing. Pasalnya perlengkapan menginap Beryl yang sudah ditata bersamanya jadi berantakan lagi karena Beryl cek lagi. Bisa didefinisikan kamar Beryl sekarang adalah sebuah kapal pecah.

“Beryl mau cek sekali lagi, Mba,” sahut Beryl seraya mengeluarkan beberapa baju ganti dari dalam tasnya.

Mba Kim menghela napas, sesekali mengelus dada. “Dari tadi mau cek sekali lagi sekali lagi tapi teh ngeceknya udah sampe tujuh kali, Neng.”

Luna yang melihat hal itu hanya tersenyum dan mendekat ke arah keduanya. “Mba Kim, tolong buatin minum ya.”

“Iya, Bu.” Mba Kim pun akhirnya pamit ke dapur dengan senyum gembira. Lebih baik dia diberi tugas di dapur daripada harus menghadapi Beryl. Ia berharap bibi yang juga bekerja bersamanya di rumah itu segera kembali dari kampung halamannya. Setidaknya Mba Kim tidak harus pusing sendirian.

“Butuh apa lagi?” tanya Luna seraya mendudukkan diri ke tepi tempat tidur, duduk bersebelahan dengan Beryl.

Beryl melirik tasnya dan menggeleng. “Udah lengkap, Tante.”

“Kalau ada yang kurang nanti bilang aja,” ujar Luna seraya merapikan kerudung Beryl. Ia tersenyum manis menatap gadis di depannya yang masih seperti anak SD. Beryl masih sangat imut dan manisss sekali.

Beryl tersenyum. “Makasih, Tante.”

Luna mengangguk dan menarik Beryl ke dalam dekapannya. “Sama-sama.”

Dalam dekapan mereka, Luna merasa tubuh mungil Beryl melemas. Kedua bahu gadis itu pun bergetar. Beryl menangis. “Hey, kenapa?”

Beryl menggeleng. Setelah Bi Amy datang membawakan kerang pedas kesukaannya tadi pagi, ia mendapat pesan dari Mamanya. Isi pesan itu adalah uang bulanan yang sudah Mamanya transfer untuk dia.

Beryl jadi berpikir kalau yang Mamanya tau ia bisa hidup bahagia hanya dengan uang, tanpa kasih sayang.

“Mama selalu sibuk kerja dan Papa... ,” lirih Beryl dengan suara parau.

Luna membantu menghapus air mata gadis dalam dekapannya. “Gimanapun juga Mama Beryl sibuk kerja juga buat Beryl. Kamu yang sabar ya.” Luna tak berhenti menepuk-nepuk punggung Beryl, menyalurkan ketenangan.

Luna merasa hatinya teriris mendengar cerita Beryl, bagaimanapun juga ia adalah seorang Ibu. “Kamu boleh anggap kami sebagai keluarga kamu sendiri,” ujarnya dengan lembut.

“Bun,” panggil Haydar pelan. Cowok itu memberi kode kalau Haris memanggilnya.

Setelah dirasa Beryl sudah tenang, Luna pun akhirnya pamit menemui suaminya. Wanita itu juga menarik Haydar menjauh dari sana. “Bunda mau ngomong sama kamu.”

“Lo makin jelek kalau nangis.”

Beryl mendongak dan buru-buru mengusap mata sembabnya. “Ada apa, Kak?” tanya Beryl masih dengan suara serak khas anak kecil habis menangis.

Sesaat Aruna terdiam. Kemudian cowok itu duduk di sebelah Beryl dan mengulurkan segelas minuman dingin.

Beryl menerima minuman itu dan meminumnya, seperti yang diperintahkan Aruna. Sebenarnya ada hal penting yang ingin Aruna katakan, tapi melihat Beryl sedang seperti itu membuatnya mengurungkan niat untuk memberitahu gadis itu.

Tidak sengaja Aruna melihat saputangannya di meja belajar tak jauh dari mereka. “Lo dapat itu dari mana?”

“Haydar,” ceplos Beryl namun cepat-cepat ia ralat. “Kak Haydar.”

Beryl mengambilnya dan memberikan pada Aruna. “Makasih, Kak. Itu juga belum aku pake kok.”

Aruna mengembalikan ke tangan Beryl. “Buat hapus air mata lo aja.”

***

Sore ini semua siswa berkumpul di lapangan sekolah dan sibuk menyiapkan tenda masing-masing. Beryl yang saat itu sedang menata barang-barang teman sekelasnya tiba-tiba diminta salah seorang siswa kelas lain menemui Salim di UKS. Setelah pamit dengan Amara dan Kuker, Beryl pun pergi ke UKS sekolahnya.

Di dalam ruang UKS Beryl tidak melihat ada orang lain di sana selain ia dan Salim yang terlihat kebingungan. “Kenapa, Lim?”

“Si Gusti tadi sakit perut, gue gak tau yang mana obatnya. Bantuin gue cari gih.” Beryl mengangguk dan mulai membantu Salim meneliti jenis-jenis obat di kotak obat. Entah si penjaga UKS sedang di mana.

Saat sedang sibuk mencari obat yang benar, tiba-tiba Salim menariknya sembunyi di bawah meja besar di sana.

“Kenap—”

Salim meletakkan jari telunjuk ke depan bibirnya. “Sstt.”

Beryl sudah menatap Salim dengan horor. Tapi raut wajah cowok berkacamata itu seakan mengatakan jika mereka dalam bahaya. Lalu terdengar seseorang membuka pintu ruang UKS. Suara derap langkah orang itu terdengar semakin mendekat.

Suara langkah itu mulai berhenti dan digantikan suara seseorang yang membuka pintu ruangan. “Kak, lo dipanggil Pak Genta di lab kimia.”

Sepersekian detik tidak ada suara apapun di sana. Sampai akhirnya terdengar kembali dua langkah kaki itu sedang menjauh.

Beryl beralih menatap Salim meminta penjelasan. “Kak? Kak siapa?”

To be continued...

Best Regards,
alfyixx

Celandine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang