45. KEJUJURAN

390 62 0
                                    

SAADAN mengernyit menatap rekaman CCTV di beberapa area koridor rumahnya. Begitu pula Beryl dan Aruna. “Sahabat lo kok gak berguna sih, Ber?” ceplos Saadan.

Beryl melotot tajam. “Astaghfirullah mulut lo!”

Ketiganya kembali menatap ke layar iMac Saadan. Tiba-tiba terlihat seseorang berlari di area koridor depan rumah. Penampilan orang itu terlihat sama seperti Beryl.

Tak sampai di situ, satu orang lagi terlihat berlari ke arah berlawanan menuju salah satu ruangan. Penampilannya juga sama miripnya dengan Beryl.

Beryl membelalak kaget.

Dari atas sampai bawah penampilan kedua sahabatnya sama persis seperti dirinya.

“Oke. Ayo pergi!”

Beryl menatap kedua cowok di depannya aneh. Aruna dan Saadan memakai warna pakaian senada, abu-abu. Celana pendek warna hitam dan sepatu hitam senada.

“Ck! Harus banget ya jadi kembar-kembar gini?”

“Lo mau pulang nggak, sih?”

Beryl berdecak dan berjalan malas menaiki tangga menuju pintu. Kakinya yang diperban sudah tak terlihat karena terbungkus oleh sepatu. Itu dari Saadan. Entah bagaimana bisa cowok itu tau ukuran sepatunya.

Dasar penguntit!

Sesaat Beryl tersenyum mengingat betapa marahnya Aruna pada Saadan tadi saat tau tentang luka di kakinya. Dan dengan bodohnya Saadan justru menyalahkan gelasnya.

Dibilang bodoh, tapi jenius.

Dibilang jenius, tapi bodoh.

Susah.

Setelah mereka bertiga keluar dari ruangan, ketiganya pergi berlawanan arah. Beryl bersama Aruna dan Saadan menuju ke arah lain sendiri.

Beryl mendongak menatap Aruna yang berjalan bersisian dengannya. Tiba-tiba ia jadi teringat sesuatu yang sempat Saadan katakan padanya saat ia menangis tadi.

“Ber, jangan percaya siapapun. Gak selamanya orang yang kelihatan baik memang bener-bener baik.

Jadi, apa Beryl juga harus mencurigai Aruna juga? Masalahnya, Saadan benar-benar tidak mau memberitahu siapa yang sebenarnya satu tujuan dengan cowok itu. Katanya, pada akhirnya Beryl juga akan tau sendiri. Entah Saadan memang berkata jujur atau justru sedang mempermainkannya.

“Kaki lo sakit, nggak?” tanya Aruna.

Beryl menggeleng pelan.

“Kak?”

“Hm.”

“Haydar, Salim, sama kak Nanta, di mana?”

Aruna menggeleng. “Gue juga nggak tau. Saadan bilang dia juga nggak tau.”

Beryl mengernyit. “Masa kak Saadan juga gak tau, sih? Kan dia yang punya rumah. Atau… dia bohong? Mungkin aja kan kalau mereka ada di salah satu ruangan di sini?”

“Mungkin.”

“Ya udah ayo kita cari mereka dulu, Kak.”

“Harusnya lo pulang dulu, Ber.”

Beryl menggeleng. “Kalo aku pulang, mereka juga harus pulang. Kita semua harus pulang bareng.”

Aruna tersenyum. “Lo percaya kalau Haydar itu kakak lo?”

“Percaya gak percaya, sih. Nanti kalau beneran terbukti iya... ya udah, deh. Seru juga kayaknya punya kakak se-ngeselin dia. Lumayan bisa aku ganggu tiap hari,” balas Beryl sambil tertawa.

Celandine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang